
Inkonsistensi Yudisial dan Keadilan Semu - Menggugat Diskriminasi Hakim dalam Pemeriksaan Saksi Perkara Perdata di PN Ungaran
edisi lanjutan dari artikel sebelumnya: "Klien LBH Mata Elang Ajukan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) Saat Pemeriksaan Setempat Berlangsung"
Ungaran, 8 Desember 2025 - Dalam agenda pemeriksaan saksi
Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Ungaran, menjadi puncak kekhawatiran bagi
Penggugat yang didampingi oleh LBH Mata Elang. Serangkaian kejanggalan
prosedural yang sebelumnya terjadi pada tahap pembuktian surat kini mencapai
titik kritis pada tahap pembuktian dengan saksi.
Alarm Kenetralan Hakim Berbunyi Keras: Analisis Dugaan Keberpihakan dalam Sidang Pemeriksaan Saksi
Penggugat (Principal) secara langsung merasakan adanya
dugaan kuat "masuk angin" atau bias yudisial dari Majelis Hakim.
Dugaan ini bukan lagi hanya masalah perbedaan penafsiran hukum, melainkan
menyentuh inti dari asas due process of law (proses hukum yang adil) yang wajib
dijunjung tinggi. Perlakuan Hakim yang sangat menyudutkan saksi Penggugat,
ditambah penerimaan saksi Tergugat yang cacat hukum, menunjukkan adanya
diskriminasi terang-terangan dalam penilaian alat bukti.
Artikel edukasi hukum ini bertujuan membedah kejanggalan
tersebut dari sudut pandang Hukum Acara Perdata dan Kode Etik Hakim, serta
menguraikan langkah-langkah hukum yang harus ditempuh Penggugat untuk melawan ketidakadilan
ini.
Standar Ganda dalam Pemeriksaan Testimonium (Kesaksian)
Sesuai Pasal 139 s.d. Pasal 152 Herziene Inlandsch Reglement
(HIR), keterangan saksi adalah alat bukti yang sah, namun harus memenuhi syarat
formil dan materiil, terutama prinsip kesaksian berdasarkan pengetahuan
langsung (testimonium de visu et auditu).
Diskriminasi Terhadap Saksi Penggugat: Pelanggaran Asas Fair Trial
Majelis Hakim terlihat sangat agresif dan cenderung
menyudutkan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Penggugat. Upaya Hakim untuk
meruntuhkan kredibilitas saksi Penggugat dapat dilakukan melalui pertanyaan
yang bersifat menggiring (leading question) atau penekanan berlebihan pada
detail minor yang tidak mengubah substansi dalil.
Sikap Majelis Hakim yang berupaya mencari kelemahan dan
meruntuhkan kesaksian secara intensif ini melanggar Asas Imparsialitas dan Asas
Keseimbangan Para Pihak (Equality of Arms). Hakim seharusnya bertindak sebagai
wasit yang netral, memastikan setiap saksi, baik dari Penggugat maupun Tergugat,
mendapatkan kesempatan yang sama untuk memberikan keterangan tanpa intimidasi
atau tekanan yang tidak semestinya. Perlakuan ini menimbulkan keraguan besar
mengenai independensi Majelis Hakim, yang merupakan pelanggaran etika berat
berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Penerimaan Saksi De Auditu Tergugat: Cacat Hukum yang Dibiarkan
Puncak kejanggalan adalah penerimaan satu saksi dari pihak
Tergugat, meskipun faktanya saksi tersebut tidak melihat, mendengar, dan tidak
mengetahui sendiri kejadian utama yang menjadi objek sengketa. Kesaksian
semacam ini disebut kesaksian de auditu (dengar dari orang lain).
Dalam doktrin hukum acara perdata, kesaksian de auditu
secara tegas tidak memiliki kekuatan pembuktian dan seharusnya diabaikan oleh
Majelis Hakim. Jika Hakim tetap menerima dan mempertimbangkan keterangan saksi
de auditu tersebut dalam putusan, hal itu menunjukkan adanya kesalahan fatal
dalam penerapan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 139 HIR yang mewajibkan
saksi untuk memberikan keterangan tentang hal yang diketahui, dilihat, atau
dialami sendiri. Pembiaran terhadap cacat formil kesaksian ini semakin
memperkuat dugaan keberpihakan yang dirasakan oleh Penggugat.
Inkonsistensi Fatal dalam Penilaian Alat Bukti Surat
Pada sidang 8 Desember 2025, terjadi anomali luar biasa yang
berkaitan dengan alat bukti surat, yang menunjukkan Majelis Hakim bertindak
tidak konsisten (Inconsistent Judicial Action).
Pembatalan Validitas Bukti Surat Penggugat
Pelanggaran
Asas Ne Bis In Idem Prosedural
Salah satu bukti surat yang dihadirkan Penggugat, yang
sebelumnya pada agenda pembuktian surat telah dinyatakan valid dan dicatat
dalam Berita Acara Sidang (BAS), tiba-tiba pada hari ini dinyatakan tidak valid
oleh Majelis Hakim tanpa dasar hukum atau temuan pemalsuan baru yang jelas.
Tindakan ini merusak asas kepastian hukum dalam proses
litigasi. Keputusan Hakim untuk memvalidasi suatu bukti harusnya bersifat final
pada tahap tersebut, kecuali ada dalil pemalsuan yang dibuktikan melalui proses
tussenvonnis (putusan sela). Pembatalan sepihak dan tiba-tiba ini dapat
dikategorikan sebagai maladministrasi peradilan dan mengganggu rasa keadilan
Penggugat, seolah-olah Majelis Hakim sengaja mengurangi kekuatan pembuktian
pihak Penggugat.
Pembiaran Bukti Cacat Tergugat: Onrechtmatig (Tindakan
Melawan Hukum) oleh Hakim
Kontrasnya, bukti surat yang dihadirkan oleh Tergugat, yang
pada agenda sebelumnya tidak diverifikasi dengan pembanding aslinya—suatu
pelanggaran terhadap Pasal 164 HIR—justru tetap dinyatakan valid oleh Majelis
Hakim.
Kewajiban menunjukkan dokumen asli saat verifikasi adalah
syarat mutlak untuk memastikan keaslian fotokopi. Kegagalan Hakim untuk
menegakkan prinsip ini pada bukti Tergugat, sementara berlaku sangat keras pada
bukti Penggugat, adalah contoh nyata diskriminasi prosedural dan dapat disebut
sebagai tindakan onrechtmatig (melawan hukum) dalam konteks penerapan Hukum
Acara.
Prosedur Hukum Melawan Judicial Misconduct
Mengingat dugaan pelanggaran etik dan hukum acara yang
begitu serius, Penggugat dan LBH Mata Elang harus segera mengambil
langkah-langkah hukum yang terukur dan terarah.
Melakukan Pelaporan Paralel ke Lembaga Pengawas
Dugaan keberpihakan Hakim ini harus dilaporkan kepada dua
lembaga pengawas utama:
Komisi Yudisial (KY)
Laporan etik harus diajukan ke KY
dengan fokus pada dugaan pelanggaran KEPPH, khususnya mengenai Asas Keadilan,
Asas Imparsialitas, dan Asas Berperilaku Arif dan Bijaksana. Bukti berupa
rekaman suara (jika diizinkan), Berita Acara Sidang (BAS) yang mencatat ucapan
dan tindakan Hakim, serta surat pernyataan dari Penggugat sebagai pihak yang
merasa didiskriminasi harus dilampirkan.
Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung (MA)
Laporan Bawas
harus fokus pada pelanggaran teknis yudisial dan Hukum Acara, seperti
penerimaan saksi de auditu, pembiaran bukti tanpa asli, dan inkonsistensi
pembatalan validitas bukti surat Penggugat.
Laporan paralel ini bertujuan untuk memberikan tekanan etik
sekaligus tekanan prosedural, memastikan adanya pemeriksaan internal dan
eksternal terhadap kinerja dan perilaku Majelis Hakim.
Mengamankan Dasar Hukum untuk Upaya Banding
Terlepas dari laporan pengawasan, yang terpenting adalah
mengamankan proses hukum dalam perkara pokok. Seluruh kejanggalan prosedural
dan indikasi keberpihakan Hakim ini harus dicatat secara rinci dalam BAS dan
akan menjadi Alasan Banding utama jika putusan Pengadilan Negeri nantinya tidak berdasarkan keadilan.
Alasan Banding harus menekankan bahwa putusan didasarkan
pada kesalahan penerapan Hukum Acara (misalnya, menerima kesaksian yang tidak
sah) dan adanya diskriminasi dalam proses pembuktian yang melanggar hak
Penggugat untuk mendapatkan putusan yang adil.
Penutup
Sidang 8 Desember 2025 telah menjadi titik balik yang menguji kemurnian peradilan. Dugaan bias yudisial yang diekspresikan melalui perlakuan menyudutkan saksi dan inkonsistensi penilaian bukti adalah bentuk judicial misconduct yang serius. LBH Mata Elang harus bergerak cepat dan tegas, tidak hanya untuk memenangkan sengketa properti ini, tetapi juga untuk menegakkan kembali integritas Majelis Hakim dan asas keadilan di Pengadilan Negeri Ungaran.

