
Panduan Lengkap Tata Cara Penanganan Perkara Pidana di Masa Transisi KUHP Baru 2023 dan KUHAP 2025
Revolusi Hukum Pidana: Memahami Tata Cara Penanganan Perkara dalam Masa Transisi
Mulai tanggal 2 Januari 2026, Indonesia memasuki babak baru
dalam sistem hukum pidana dengan berlakunya dua undang-undang fundamental:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP
Baru 2023) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP 2025).
Perubahan ini merupakan langkah strategis yang sangat signifikan, menimbulkan pertanyaan kritis mengenai bagaimana menangani perkara-perkara pidana yang sedang berjalan (transisi) pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pelaksanaan putusan.
Untuk mengantisipasi problematika praktis dan menjamin hak-hak Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana, Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah menerbitkan petunjuk pelaksanaan melalui surat bernomor B-5433/E/Ejp/12/2025. Artikel ini akan mengupas tuntas pedoman tersebut sebagai panduan edukasi hukum.
1. Prinsip Utama: Penerapan Asas Lex Favor Reo
Ketentuan transisi merujuk pada Pasal 618 KUHP 2023 dan Pasal 361 huruf a, b, c, d KUHAP 2025. Prinsip paling mendasar yang harus diterapkan oleh Jaksa/Penuntut Umum adalah Asas Lex Favor Reo (hukum yang lebih menguntungkan).
Penerapan perubahan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana diimplementasikan dengan menggunakan empat asas hukum: Asas Legalitas, Asas Lex Temporis Delicti, Asas Transitoir, dan Asas Lex Favor Reo. Dasar dari Lex Favor Reo ini adalah Pasal 3 KUHP 2023 yang mengatur bahwa ketentuan undang-undang baru harus digunakan terhadap tindak pidana yang sedang dalam proses peradilan, kecuali jika undang-undang lama lebih menguntungkan bagi Tersangka atau Terdakwa.
2. Pedoman Penerapan Hukum Materiil dan Hukum Formil pada Tiap Tahap Perkara
Penerapan hukum materiil (KUHP) dan hukum formil (KUHAP) di masa transisi dibedakan berdasarkan tahapan perkara yang sedang berjalan:
A. Tahap Penyidikan
Pada tahap penyidikan, Hukum Materiil yang berlaku adalah KUHP Baru 2023, kecuali jika KUHP atau Peraturan Perundang-undangan yang lama terbukti lebih menguntungkan. Sementara itu, Hukum Formil yang berlaku pada dasarnya adalah KUHAP 1981. Namun, jika tindak pidana sudah terjadi tetapi proses penuntutan belum dimulai, maka KUHAP 2025 yang berlaku. Jaksa/Penuntut Umum juga wajib memastikan bahwa tindak pidana yang disangkakan masih memenuhi syarat penahanan dalam KUHAP Baru.
B. Tahap Penuntutan
Pada tahap penuntutan, Hukum Materiil yang berlaku adalah KUHP 2023, kecuali jika KUHP atau Peraturan Perundang-undangan yang lama terbukti lebih menguntungkan. Sementara itu, Hukum Formil yang berlaku adalah KUHAP 1981.
C. Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Pada tahap pemeriksaan pengadilan, Hukum Materiil yang berlaku adalah KUHP 2023, kecuali jika KUHP atau Peraturan Perundang-undangan yang lama terbukti lebih menguntungkan. Sedangkan Hukum Formil yang berlaku adalah KUHAP 2025. Namun, terdapat pengecualian: jika perkara sudah dilimpahkan dan proses pemeriksaan Terdakwa sudah mulai di persidangan, maka yang berlaku adalah KUHAP 1981.
Catatan: Ketentuan yang menguntungkan tidak semata-mata dilihat pada ancaman pidana. Penyesuaian batas pidana saat pelaksanaan putusan berkekuatan hukum tetap harus merujuk pada Penjelasan Pasal 3 ayat (7) KUHP 2023.
3. Parameter Penentuan Aturan yang 'Paling Menguntungkan' (Lex Favor Reo)
Penentuan Undang-Undang mana yang "paling menguntungkan" dilakukan dengan membandingkan dua rezim hukum untuk menemukan ketentuan yang memberikan posisi hukum lebih baik bagi Tersangka atau Terdakwa.
A. Perubahan Ancaman Pidana
Pidana Lebih Ringan
Jika KUHP Baru memberikan ancaman
penjara yang lebih singkat atau denda yang lebih rendah, maka KUHP Baru yang
wajib diterapkan.
Penghapusan Pidana Minimum Khusus
UU Penyesuaian Pidana
telah menghapus ancaman pidana minimum khusus di berbagai UU di luar KUHP, yang
dianggap lebih menguntungkan. Pengecualian berlaku untuk tindak pidana berat
terhadap HAM, terorisme, korupsi, dan pencucian uang.
Perubahan Jenis Pidana
Perubahan jenis pidana dari penjara
menjadi pidana denda, pengawasan, atau kerja sosial dianggap lebih
menguntungkan karena menghindari perampasan kemerdekaan fisik.
B. Dekriminalisasi (Penghapusan Pidana)
Jika suatu perbuatan yang disangkakan bukan lagi tindak pidana dalam KUHP Baru dan UU Penyesuaian Pidana, proses hukum harus dihentikan demi hukum. Jika sudah diputus, eksekusinya wajib dihapuskan. Penuntut Umum memberikan petunjuk kepada Penyidik bahwa perbuatan yang disangkakan tidak lagi merupakan tindak pidana.
C. Perubahan Unsur Tindak Pidana
Tindak Pidana Biasa Menjadi Aduan
Jika KUHP Baru mengubah tindak pidana biasa menjadi tindak pidana aduan, Penuntut Umum harus memeriksa apakah terdapat Pengaduan dari pihak yang berhak. Jika tidak ada pengaduan, Penuntut Umum harus memberi petunjuk kepada Penyidik bahwa penyidikan tidak memenuhi syarat materil tindak pidana aduan.
Perubahan Unsur Kesalahan
Jika KUHP lama menentukan unsur kesalahan adalah "kelalaian", tetapi KUHP Baru menentukan "kesengajaan", maka KUHP lama yang diterapkan karena dianggap lebih menguntungkan bagi Tersangka atau Terdakwa.
4. Prosedur Wajib Penuntut Umum pada Tahap Transisi (Penyidikan dan Penuntutan)
A. Keabsahan Dokumen dan Kualifikasi Yuridis
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat sebelum 2 Januari 2026 tetap sah secara prosedural karena mengacu pada prinsip tempus regit actum. Pasal sangkaan dalam BAP hanyalah kualifikasi yuridis sementara dan tidak bersifat final dan mengikat. Titik kritis penentuan kualifikasi yuridis adalah Surat Dakwaan.
B. Tahap Penyerahan Tersangka dan Bukti (Tahap II)
Pembuatan BAPKY
Sebelum atau saat penyerahan Tahap II,
Penuntut Umum wajib berkoordinasi dengan Penyidik, Tersangka, dan Advokat untuk
membuat Berita Acara Penyesuaian Kualifikasi Yuridis (BAPKY). BAPKY ini
berfungsi untuk mencantumkan pasal sangkaan yang sudah disesuaikan dengan KUHP
Baru/Undang-Undang Penyesuaian Pidana. BAPKY harus diserahkan kepada Tersangka,
keluarganya, dan Advokat.
Evaluasi Penahanan
Saat menerima Tahap II, Jaksa harus
mengevaluasi kembali urgensi penahanan dan memeriksa syarat sah penahanan
berdasarkan KUHAP Baru.
C. Tahap Penuntutan dan Persidangan
Penyusunan Surat Dakwaan
Surat Dakwaan harus disusun
menggunakan pasal sangkaan dalam KUHP Baru/Undang-Undang Penyesuaian Pidana.
Pelimpahan Perkara
Jika terjadi perubahan pasal dakwaan,
saat pelimpahan perkara ke Pengadilan, Penuntut Umum wajib melampirkan BAPKY
yang ditandatangani oleh semua pihak, disertai Surat Pelimpahan Perkara
Pengadilan (P-31) yang dilandasi dengan dasar KUHAP Baru.
5. Implikasi pada Pembuktian, Upaya Hukum, dan Eksekusi
A. Pembuktian dan Tuntutan (Requisitoir)
Dalam sidang, Penuntut Umum harus memperhatikan: pertanggungjawaban pidana, khususnya mengenai pembuktian unsur kesengajaan (Pasal 36 ayat (2) KUHP Baru) ; tujuan dan pedoman pemidanaan (Bab III, Bagian Kesatu KUHP Baru) ; serta penerapan alternatif pidana penjara, seperti Pidana Bersyarat, Pidana Pengawasan, dan Pidana Kerja Sosial (merujuk pada Pedoman Nomor 1 Tahun 2025).
B. Tahap Upaya Hukum
Apabila putusan menggunakan KUHP Lama dan Jaksa mengajukan
upaya hukum (banding/kasasi) setelah 2 Januari 2026, maka dalam memori
banding/kasasi, Penuntut Umum harus menambahkan penyebutan dan uraian penerapan
ketentuan dalam KUHP Baru.
C. Tahap Pelaksanaan Putusan (Eksekusi)
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap menggunakan KUHP
Lama tetap dilaksanakan. Kecuali terjadi perubahan ketentuan dalam KUHP Baru
yang lebih menguntungkan bagi Terpidana, maka eksekusi dilaksanakan merujuk
Pasal 3 ayat (4) dan ayat (7) KUHP 2023.
Penutup
Masa Transisi Hukum Pidana yang dimulai pada 2 Januari 2026
ini menuntut profesionalitas, kecermatan, dan pemahaman mendalam mengenai Asas
Lex Favor Reo. Pedoman dari Kejaksaan Agung ini memastikan bahwa meskipun
terjadi perubahan rezim hukum, prinsip keadilan dan hak asasi manusia tetap
ditegakkan, sejalan dengan semangat reformasi KUHP Baru 2023 dan KUHAP 2025.

