
Kuantitas Vs Kualitas, LBH Mata Elang Hanya Hadirkan 15 Bukti Surat, Siap Menuju Sidang Pemeriksaan Saksi
edisi lanjutan dari artikel sebelumnya: "Revolusi Pembuktian di Meja Hijau, Saatnya Tergugat Bongkar Fakta Sebenarnya di Balik Dana Miliar Rupiah"
Depok, 25 November 2025 - Pengadilan Negeri Depok
menjadi saksi dari babak krusial dalam perkara perdata gugatan Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) bernilai puluhan miliar rupiah. Di satu sisi, hadir kuasa
hukum perusahaan penerbangan besar yang menggetarkan dengan membawa 200-an
Bukti Surat. Di sisi lain, berdiri tegak Tim Hukum LBH Mata Elang, mendampingi
para Tergugat (Tergugat I, II, dan III), yang hanya mengajukan 15 Bukti Surat
yang terstruktur dan teruji.
Perbedaan kuantitas yang ekstrem ini menegaskan satu prinsip
fundamental dalam hukum pembuktian: Kualitas Bukti Selalu Di Atas Kuantitas.
Setelah proses adu bukti surat yang panjang dan mendebarkan
ini, Majelis Hakim telah memutuskan agenda selanjutnya: Pemeriksaan Saksi. Ini
berarti, pertarungan untuk membuktikan fakta yang sebenarnya, bahwa transfer
dana puluhan miliar tersebut adalah perintah atasan untuk membayar gaji
karyawan, kini beralih dari dokumen ke keterangan manusia.
Strategi Minimalis LBH Mata Elang: Fokus pada Kualitas
Mengapa LBH Mata Elang berani hanya mengajukan 15 bukti
melawan 200 bukti? Strategi ini didasarkan pada pemahaman mendalam tentang
kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata, khususnya di Indonesia.
Kekuatan Hukum Bukti Otentik (Volledige en Bindende Bewijskracht)
Tim LBH Mata Elang tidak berfokus pada jumlah, melainkan
pada jenis dan relevansi bukti. Bukti-bukti kunci yang diajukan Tergugat I
bersifat otentik dan sangat relevan (serta didukung oleh bukti surat lainnya):
Payment Request/PR yang Ditandatangani Manajemen
Bukti ini secara langsung mematahkan unsur perbuatan melawan hukum.
Jika atasan Tergugat I atau manajemen puncak telah menyetujui permintaan
pembayaran (Payment Request), maka tindakan Tergugat I hanyalah eksekusi teknis
atas perintah yang sah. Satu lembar PR berotorisasi jauh lebih kuat daripada
puluhan bukti internal yang tidak relevan dengan pokok sengketa.
Akta Pernyataan di Bawah Sumpah
Dengan
menghilangkan kata "Akta Notaris" dan menyebutnya sebagai Bukti Otentik
keterangan bersumpah, bukti ini memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan
mengikat. Keterangan ini memastikan sanggahan Tergugat I (seperti ketiadaan
bisnis jastip ilegal dan detail prosedur payroll tunai) diterima sebagai
kebenaran mutlak di persidangan, kecuali dibuktikan sebaliknya.
Chat Otorisasi dan Kooperatif
Kumpulan screenshot yang spesifik, terbagi per individu atasan (HR Manager,
Supervisor, Atasan Langsung), membuktikan instruksi lisan dan itikad baik
Tergugat I, mematahkan narasi Penggugat bahwa Tergugat I menghindar atau
bertindak sembunyi-sembunyi.
Menghindari Overkill dan Kebingungan Hakim
Mengajukan terlalu banyak bukti, seperti 200-an dokumen Penggugat,
berisiko tinggi menciptakan kebingungan bagi Majelis Hakim. Hakim harus
mencermati dan mempertimbangkan setiap bukti. Sebagian besar bukti yang terlalu
banyak seringkali bersifat repetitif, duplikatif, atau tidak relevan dengan
dalil pokok sengketa.
LBH Mata Elang memilih 15 bukti yang terstruktur dan saling
mendukung, menjamin bahwa setiap bukti memiliki nilai pembuktian tertinggi dan
berfungsi sebagai mata rantai yang solid untuk membentuk keyakinan Majelis
Hakim.
Mempersiapkan Tahap Krusial: Pemeriksaan Saksi
Setelah tahap pembuktian surat selesai, fokus hukum kini
beralih ke pembuktian lisan, yaitu Pemeriksaan Saksi. Tahap ini sering kali
menjadi penentu utama dalam perkara PMH karena menyentuh unsur niat jahat (mens
rea) dan pengetahuan manajemen.
Strategi Menggali Fakta dari Keterangan Saksi
Dalam tahap ini, Tim LBH Mata Elang akan berupaya keras
untuk:
Menggali Pengetahuan Manajemen
Meminta saksi dari pihak
Penggugat (seperti Manajer HR atau Staf Keuangan lain) untuk mengkonfirmasi
prosedur payroll yang umum (penitipan dana sementara) dan keabsahan tanda
tangan pada dokumen Payment Request (T.I-4). Jika saksi membenarkan prosedur
tersebut, gugatan PMH Penggugat akan runtuh.
Membuktikan Kepatuhan Hierarki
Meminta saksi untuk
mengkonfirmasi bahwa Tergugat I (Staf Payroll) berada di bawah perintah atasan
(HR Manager/Supervisor), sesuai dengan Bukti T.I-12 (Struktur Organisasi/OCN).
Ini memperkuat argumen Uitvoering van een Taak.
Mengkonfirmasi Kooperatif
Meminta saksi (misalnya Staf HR
yang diajak chat) untuk membenarkan kooperatifnya Tergugat I, yang bertentangan
dengan dalil Penggugat bahwa Tergugat I melarikan diri atau menyembunyikan
informasi.
Pemeriksaan saksi adalah kesempatan bagi Tergugat untuk
menginterogasi narasi Penggugat secara langsung, memaksa pihak yang menggugat
untuk menjelaskan kejanggalan dalam prosedur internal mereka.
Edukasi Hukum: Melawan Kriminalisasi dan Penekanan
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat dan
pekerja di Indonesia:
Melawan Ketidakadilan Gugatan PMH
Seringkali, perusahaan besar menggunakan gugatan PMH perdata
untuk menekan mantan karyawannya atau menutupi kelalaian internal (systemic
failure). Kriminalisasi transfer dana yang sebenarnya adalah pembayaran gaji
menunjukkan upaya untuk mengalihkan tanggung jawab.
Kisah Tergugat I dan LBH Mata Elang membuktikan bahwa setiap
warga negara berhak melawan penindasan hukum asalkan dipersenjatai dengan bukti
yang kuat dan strategi hukum yang tepat. Tidak peduli seberapa terkenal atau
seberapa besar kantor hukum lawan, keadilan sejati terletak pada validitas
fakta dan logika hukum.
Kunci Sukses Pembuktian Hukum
Jangan pernah takut dengan jumlah bukti lawan. Fokuslah
pada:
Relevansi
Apakah bukti Anda menjawab inti dari dalil lawan?
Otentisitas
Pastikan bukti Anda memiliki kekuatan
pembuktian tertinggi (surat resmi, akta, atau screenshot yang didukung
keterangan saksi).
Struktur
Susun bukti Anda secara sistematis, dari bukti
otorisasi (PR) ke bukti pelaksanaan (chat) hingga bukti penyanggah (Akta
Pernyataan).
Keputusan Majelis Hakim untuk melanjutkan ke tahap pemeriksaan saksi memberikan optimisme baru. Ini adalah kesempatan bagi Tergugat I untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia hanyalah seorang pelaksana tugas yang menjadi korban ketidakadilan.

