Terungkap! Perusahaan Outsourcing Ilegal dan Gaji Rendah Berakhir di Tangan Polda Jateng: LBH Mata Elang Siap Kawal Keadilan!

Terungkap! Perusahaan Outsourcing Ilegal dan Gaji Rendah Berakhir di Tangan Polda Jateng: LBH Mata Elang Siap Kawal Keadilan!

Terungkap! Perusahaan Outsourcing Ilegal dan Gaji Rendah Berakhir di Tangan Polda Jateng: LBH Mata Elang Siap Kawal Keadilan!



LBH Mata Elang dan Polda Jateng bersinergi menindak perusahaan outsourcing ilegal yang bayar gaji di bawah UMK dan akibatkan cacat permanen. Temukan fakta mengejutkan dan langkah hukum selanjutnya di sini!

 

Semarang, 8 Juli 2025 – Gelombang perjuangan keadilan bagi pekerja di Indonesia terus menguat, dan kali ini datang dari Semarang. Setelah meraih kemenangan gemilang di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Semarang dengan putusan nomor xx/Pdt.Sus-PHI/2025/PN Smg, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang tak berhenti sampai di sana. Sebuah babak baru yang lebih serius kini telah dimulai: menggandeng pihak kepolisian untuk menindaklanjuti dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing yang lalai, bahkan disinyalir beroperasi secara ilegal.

 

Kisahnya berpusat pada seorang pekerja yang gigih, yang hidupnya terguncang setelah mengalami kecelakaan kerja parah yang mengakibatkan cacat permanen. Bukannya mendapatkan perlindungan dan jaminan, ia justru dihadapkan pada kenyataan pahit: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, gaji yang jauh di bawah standar layak, dan masa depan yang tidak jelas. Namun, di tengah keputusasaan, LBH Mata Elang hadir sebagai mercusuar harapan, bukan hanya sebagai pendamping hukum, tetapi juga sebagai keluarga yang menguatkan.

 

Dari PHI ke Meja Penyidik: Langkah Berani LBH Mata Elang

Kemenangan di PHI Semarang adalah bukti nyata bahwa kebenaran selalu menemukan jalannya. Majelis Hakim dengan tegas menolak seluruh eksepsi perusahaan tergugat dan memberikan putusan yang menggetarkan:

  • Pengakuan sebagai Pekerja Tetap. Hubungan kerja pekerja dengan perusahaan outsourcing dinyatakan sah sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sejak 1 September 2022. Ini adalah pengakuan atas pengabdian dan jaminan kepastian kerja yang selama ini dirampas.
  • Upah di Bawah Standar adalah Pelanggaran Hukum. Pengadilan menyatakan bahwa tindakan perusahaan membayar upah di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Semarang adalah tindakan melanggar hukum. Ini adalah peringatan keras bagi perusahaan lain bahwa hak atas upah yang layak adalah amanat undang-undang yang tidak bisa ditawar.
  • PHK Saat Cacat Akibat Kecelakaan Kerja Dinyatakan Batal. Poin paling krusial, PHK yang dilakukan perusahaan saat pekerja sakit berkepanjangan dan cacat akibat kecelakaan kerja, bahkan sebelum batas waktu 12 bulan terlampaui, dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum. Surat PHK tersebut pun dinyatakan batal demi hukum. Ini menegaskan bahwa kemanusiaan harus di atas segalanya, terutama bagi mereka yang sedang terpuruk.
  • Wajib Dipekerjakan Kembali. Perusahaan Tergugat dihukum untuk mempekerjakan kembali pekerja terhitung sejak 1 Februari 2025. Ini adalah pemulihan martabat dan mata pencarian.
  • Hak Finansial Terpenuhi. Perusahaan juga diwajibkan membayar kekurangan upah sebelumnya dan kekurangan upah selama pekerja sakit.

Kemenangan ini, meski monumental, tidak membuat LBH Mata Elang berpuas diri. Ketua Yayasan LBH Mata Elang menyadari bahwa keadilan harus ditegakkan secara menyeluruh, tidak hanya di ranah perdata, tetapi juga pidana jika memang ada pelanggaran.

 

Koordinasi Strategis dengan Ditreskrimsus Polda Jateng

Paralegal LBH Mata Elang, Firdaus Ramadan Nugroho, bersama Mahasiswa Magang dari Fakultas Hukum UNDIP, Firman Abdul Ghani yang diberi kesempatan emas untuk terlibat dalam perjuangan hukum ini, secara resmi melakukan koordinasi dengan Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Tengah. Pertemuan ini menjadi langkah konkret LBH Mata Elang untuk membawa kasus ini ke jenjang hukum yang lebih tinggi, mengacu pada putusan PHI yang telah inkrah (berkekuatan hukum tetap).

 

Firdaus Ramadan Nugroho menjelaskan bahwa tujuan utama koordinasi ini adalah untuk mendorong pihak kepolisian agar segera menindaklanjuti proses penyelidikan dan penyidikan terhadap adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing tersebut. "Kami berharap pihak penyidik dapat bergerak cepat. Pelanggaran hak-hak pekerja, apalagi hingga mengakibatkan cacat permanen, harus mendapatkan perhatian serius dan penindakan hukum yang tegas," ujar Firdaus.

 

Temuan Mengejutkan: Perusahaan Outsourcing Ternyata Tidak Berbadan Hukum!

Dalam upaya pendampingan hukum dan penelusuran lebih lanjut, Firdaus dan Firman menemukan fakta yang sangat mencengangkan: perusahaan outsourcing yang menjadi Tergugat dalam kasus ini ternyata tidak berbadan hukum sebagaimana dipersyaratkan oleh undang-undang. Ini adalah pelanggaran fundamental yang sangat serius!


"Temuan ini sangat krusial," tegas Firdaus. "Bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja, yang notabene mengatur nasib ribuan pekerja, bisa beroperasi tanpa badan hukum yang jelas? Ini bukan hanya kelalaian administratif, melainkan indikasi kuat adanya praktik ilegal yang merugikan banyak pihak, terutama pekerja."

 

Ketiadaan badan hukum ini tidak hanya menunjukkan ketidakpatuhan terhadap regulasi, tetapi juga menyulitkan pertanggungjawaban hukum di kemudian hari. Ini adalah celah yang sangat berbahaya yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaan tidak bertanggung jawab untuk menghindari kewajiban mereka.


Dasar hukum yang mengatur bahwa perusahaan outsourcing (alih daya) wajib berbadan hukum di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).

 

Secara spesifik, ketentuan ini diatur dalam Pasal 19 ayat (1) PP 35/2021:

"Perusahaan alih daya harus berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi perizinan berusaha."

 

PP 35/2021 ini sendiri merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Sebelum adanya UU Cipta Kerja dan PP 35/2021, kewajiban berbentuk badan hukum ini juga sudah tersirat dalam berbagai ketentuan terkait perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dalam UU Ketenagakerjaan lama (seperti Pasal 65 dan 66), yang pada intinya mensyaratkan adanya perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dilakukan oleh perusahaan yang sah dan berizin. Namun, PP 35/2021 menegaskan secara eksplisit kewajiban badan hukum tersebut.

 

Mengapa Perusahaan Outsourcing Wajib Berbadan Hukum?

Kewajiban perusahaan outsourcing untuk berbadan hukum memiliki beberapa tujuan penting:

  • Kepastian Hukum dan Akuntabilitas. Dengan berbadan hukum (misalnya PT, CV), perusahaan memiliki identitas yang jelas dan terpisah dari individu pendirinya. Hal ini memudahkan pertanggungjawaban hukum jika terjadi pelanggaran atau sengketa, baik dengan pekerja maupun dengan perusahaan pengguna jasa.
  • Perlindungan Hak Pekerja. Perusahaan berbadan hukum memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih terstruktur terhadap hak-hak pekerjanya (upah, jaminan sosial, K3L, dll.). Jika terjadi masalah, pekerja memiliki entitas yang jelas untuk dimintai pertanggungjawaban.
  • Pengawasan Pemerintah. Pemerintah lebih mudah melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang terdaftar secara resmi dan memiliki bentuk badan hukum. Ini juga terkait dengan kewajiban perizinan berusaha yang harus dipenuhi.
  • Profesionalisme dan Kredibilitas. Perusahaan yang berbadan hukum cenderung lebih profesional dalam operasionalnya dan memiliki kredibilitas yang lebih tinggi di mata klien (perusahaan pengguna jasa) maupun pekerja.
  • Pajak dan Legalitas. Kepatuhan terhadap kewajiban pajak dan legalitas usaha lainnya menjadi lebih terjamin ketika perusahaan beroperasi dalam bentuk badan hukum yang sah.

Dalam kasus ini, penemuan bahwa perusahaan outsourcing tidak berbadan hukum merupakan pelanggaran serius terhadap dasar hukum ini, dan mengindikasikan adanya praktik ilegal yang dapat merugikan banyak pihak, terutama pekerja.

 

Korelasi Antara Kelalaian Hukum dan Cacat Permanen Pekerja

Lebih jauh, temuan bahwa perusahaan outsourcing tidak berbadan hukum ini semakin memperkuat dugaan adanya kelalaian dalam menjalankan operasional, termasuk dalam penerapan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan (K3L). Dalam kasus korban, kecelakaan kerja yang pahit hingga mengakibatkan cacat seumur hidup terjadi karena kurangnya penerapan K3L yang memadai oleh perusahaan.

 

"Ketiadaan badan hukum seringkali berkorelasi dengan longgarnya pengawasan internal dan abainya perusahaan terhadap standar operasional yang semestinya. Dampaknya, seperti yang kita lihat, sangat fatal," tambah Firman, mahasiswa magang dari FH UNDIP yang turut aktif dalam pendampingan ini. "Ini bukan lagi sekadar kasus perdata. Ini adalah tentang kejahatan kemanusiaan yang harus ditindak tegas."

 

Pasal 81 angka 66 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jelas mengatur sanksi pidana bagi perusahaan yang membayar upah di bawah upah minimum. Sanksinya tidak main-main: penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

 

Selain itu, Pasal 81 angka 44 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur mengenai kewajiban pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Pelanggaran terhadap kewajiban ini juga dapat berujung pada ancaman pidana yang serupa.

 

Komitmen LBH Mata Elang: Mengawal hingga Tuntas!

LBH Mata Elang, melalui Firdaus Ramadan Nugroho dan Firman, berkomitmen penuh untuk mengawal proses hukum ini hingga tuntas. Mereka berharap pihak penyidik Ditreskrimsus Polda Jawa Tengah dapat segera menindaklanjuti laporan ini, melakukan penyelidikan mendalam, dan menetapkan tersangka jika bukti-bukti pidana telah terpenuhi.

 

"Kami tidak akan berhenti sampai keadilan yang absolut dan setimpal tercapai. Ini adalah pesan bagi semua perusahaan: tidak ada pihak yang kebal hukum, dan setiap tetesan keringat serta air mata perjuangan pekerja akan berbuah manis!" seru Firdaus dengan penuh semangat.

 

LBH Mata Elang tidak hanya berjuang untuk satu individu, melainkan untuk menciptakan efek jera dan meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat. Kasus ini diharapkan menjadi preseden penting yang akan membuat perusahaan lebih bertanggung jawab dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

 

Jadilah Bagian dari Perjuangan Keadilan! 

Apakah Anda merasakan semangat yang sama untuk memperjuangkan keadilan? Apakah Anda ingin menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar untuk membantu mereka yang membutuhkan? LBH Mata Elang membuka pintu lebar-lebar bagi Anda!

 

Kami dengan bangga membuka Program Pelatihan Paralegal yang dirancang khusus untuk membentuk Anda menjadi garda terdepan keadilan. Program ini terbuka untuk siapapun, tanpa memandang latar belakang pendidikan. Yang kami cari adalah hati yang peduli, semangat yang membara, dan tekad untuk belajar serta membantu sesama. Jadilah jembatan bagi mereka yang butuh pertolongan, jadilah suara bagi mereka yang tak bersuara.

 

Bergabunglah dengan keluarga besar LBH Mata Elang yang penuh cinta dan perjuangan. Bersama-sama, kita bisa mengukir sejarah, membentuk masyarakat yang benar-benar sadar dan melek hukum, serta memastikan bahwa keadilan selalu menyentuh setiap sendi kehidupan.

 

Jangan ragu! Daftarkan diri Anda SEKARANG JUGA dan jadilah pahlawan keadilan berikutnya!