Integritas Peradilan dan Standar Pembuktian - Menguji Asas-Asas Hukum Acara di Persidangan Perdata

Integritas Peradilan dan Standar Pembuktian - Menguji Asas-Asas Hukum Acara di Persidangan Perdata

Integritas Peradilan dan Standar Pembuktian - Menguji Asas-Asas Hukum Acara di Persidangan Perdata


 

edisi lanjutan dari artikel sebelumnya: "Ironi Gangguan E-Court dan Kisah Penggugat Mandiri - Ketika Keadilan Terasa Berat dan Tertunda" 



Ungaran, 24 November 2025 - Momentum krusial dalam salah satu sengketa perdata mengenai Perbuatan Melawan Hukum (PMH), di mana agenda utamanya adalah pembuktian surat lanjutan dari pihak Penggugat, yang dalam hal ini didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang, dan juga pihak Tergugat yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya. 


Ketika Integritas Peradilan Dipertanyakan: Mengurai Kejanggalan dalam Sidang Pembuktian dan Langkah Hukum Melawan Diskriminasi Hakim

 

Di tengah proses pembuktian yang seharusnya menjunjung tinggi asas kesamaan di hadapan hukum (equality before the law), muncul serangkaian kejanggalan prosedural yang sangat mengkhawatirkan. LBH Mata Elang menyikapi serius indikasi perlakuan diskriminatif ini, yang berpotensi merusak integritas peradilan dan asas penemuan kebenaran materiil.

 

Artikel ini bertujuan mengedukasi masyarakat mengenai standar pembuktian yang benar dalam Hukum Acara Perdata dan menguraikan langkah hukum apa saja yang dapat diambil oleh para pencari keadilan ketika menghadapi perlakuan hakim yang dinilai tidak netral.

 

Standar Ganda dalam Pembuktian Surat: Melanggar Asas Audi Et Alteram Partem

 

Dalam Hukum Acara Perdata, Majelis Hakim wajib bertindak pasif, non-diskriminatif, dan memastikan prosedur pembuktian berjalan sesuai aturan, terutama dalam konteks asas audi et alteram partem (mendengarkan kedua belah pihak secara adil).

 

Kejanggalan eksplisit terlihat jelas dalam standar Majelis Hakim terhadap bukti surat kedua belah pihak.

 

Kewajiban Membawa Asli: Prinsip Verifikasi Bukti Surat

 

Sesuai dengan ketentuan Pasal 164 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) / Pasal 284 Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), bukti surat yang diajukan dalam persidangan pada dasarnya adalah salinan yang disesuaikan dengan aslinya. Prosedur yang benar adalah:

 

Penggugat/Tergugat menyerahkan fotokopi yang telah dilegalisasi (leges).

 

Majelis Hakim wajib meminta pihak yang mengajukan bukti untuk menunjukkan dokumen aslinya di persidangan untuk dibandingkan (vergelijken) dengan fotokopi.

 

Anomali yang Terjadi:

 

Terhadap Bukti Penggugat 

Majelis Hakim sangat eksplisit dan ketat mempersoalkan bukti surat Penggugat (fotokopi yang telah dileges, dengan bukti asli dibawa sebagai pembanding). Penekanan berlebihan pada formalitas padahal syarat verifikasi sudah dipenuhi.

 

Terhadap Bukti Tergugat 

Majelis Hakim justru menerima dan memvalidasi bukti fotokopi yang telah dileges oleh Tergugat, meskipun  kuasa hukum Tergugat tidak membawa dokumen aslinya.

 

Firdaus Ramadan Nugroho, salah satu anggota Tim Pendampingan Hukum LBH Mata Elang berpendapat bahwa tindakan Majelis Hakim yang menerima dan menyatakan valid bukti fotokopi tanpa pembanding asli dari salah satu pihak merupakan indikasi adanya pelanggaran serius terhadap Hukum Acara. Hal ini melanggar asas pembuktian yang menuntut kehati-hatian Majelis Hakim dalam menilai keautentikan dokumen, dan secara nyata mengindikasikan ketidakseimbangan perlakuan di antara para pihak yang berperkara.

 

Kesalahan Fatal Standar Bukti Elektronik: Kasus Screenshot WhatsApp

 

Salah satu poin kejanggalan yang paling substansial adalah mengenai standar penerimaan Bukti Elektronik berupa print out hasil tangkapan layar (screenshot) percakapan WhatsApp.

 

Meluruskan Aturan Bukti Elektronik (UU ITE) vs. Prasyarat Puslabfor

 

Majelis Hakim mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa bukti elektronik berupa print out hasil tangkapan layar hanya dapat diakui jika ada cap dari Puslabfor Mabes Polri.

 

Pernyataan ini adalah kekeliruan besar, terutama dalam konteks Hukum Acara Perdata.

 

Status Hukum Bukti Elektronik 

Bukti elektronik diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 5 ayat (1), yang menyatakan: "Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah." Dalam perkara perdata, bukti elektronik seringkali diperlakukan sebagai Bukti Surat (walaupun harus melalui tahap konfirmasi).

 

Kewenangan Puslabfor 

Validasi oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri hanya diperlukan dan sangat dominan dalam ranah Tindak Pidana (Pidana Umum), di mana integritas data (sidik jari digital) sangat ketat dipersyaratkan untuk menentukan keaslian bukti tindak pidana.

 

Standar Perdata 

Dalam Perkara Perdata, keabsahan screenshot lebih sering dinilai berdasarkan pengakuan para pihak di persidangan atau melalui alat bukti lain. Mengabaikan bukti Penggugat karena tidak ada cap Puslabfor, sementara bukti serupa dari Tergugat langsung diterima dan valid, menunjukkan standar ganda yang jelas. Bukti tangkapan layar percakapan WhatsApp dari Tergugat yang langsung diterima Majelis Hakim tanpa dipersoalkan adalah anomali yang memperkuat dugaan ketidaknetralan.

 

Asas Persidangan Terbuka: Hak Publik Mengawasi Kekuasaan Kehakiman

 

Kejanggalan lain yang bersifat fundamental adalah sikap Majelis Hakim yang selalu merasa risih dengan kehadiran pengunjung atau penonton di ruang sidang. Hakim berulang kali mempersoalkan kehadiran pengunjung tersebut.

 

Prinsip Keterbukaan dan Akuntabilitas

 

Persidangan perdata, sesuai Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 13 ayat (1), harus dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain.

 

Tujuan Asas Terbuka 

Keterbukaan persidangan adalah pilar penting untuk memastikan proses peradilan berjalan secara adil, transparan, dan akuntabel. Kehadiran publik berfungsi sebagai kontrol sosial (social control) terhadap kekuasaan kehakiman.

 

Implikasi Sikap Hakim 

Sikap Majelis Hakim yang risih atau mempersoalkan kehadiran pengunjung menunjukkan upaya untuk membatasi pengawasan publik terhadap jalannya persidangan, yang bertentangan langsung dengan filosofi keterbukaan peradilan di Indonesia.

 

Langkah Hukum dan Administrasi Melawan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim

 

Perlakuan Majelis Hakim yang secara eksplisit menunjukkan ketidaknetralan dan diskriminasi dalam menilai bukti serta membatasi akses publik, adalah pelanggaran serius terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

 

Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh Penggugat untuk menyikapi kondisi ini adalah:

 

Mengajukan Laporan ke Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung

 

Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan internal terhadap tingkah laku (etik) dan kinerja (kinerja teknis) para Hakim.

 

Tujuan 

Meminta Bawas MA menindaklanjuti dugaan pelanggaran teknis yudisial, khususnya terkait prosedur pembuktian yang diskriminatif dan kesalahan fatal dalam menerapkan standar bukti elektronik.

 

Dasar 

Adanya dugaan pelanggaran Pasal 6 ayat (1) huruf f KEPPH (berperilaku adil) dan Pasal 6 ayat (2) huruf f KEPPH (diskriminasi).

 

Melaporkan Dugaan Pelanggaran Etik ke Komisi Yudisial (KY)

 

Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga negara yang berwenang mengawasi perilaku Hakim. Laporan ke KY lebih fokus pada aspek etika dan moral Majelis Hakim.

 

Tujuan 

Meminta KY memeriksa dugaan pelanggaran KEPPH, khususnya mengenai asas netralitas, ketidakberpihakan, dan kewajiban untuk tidak melakukan diskriminasi (Pasal 6 KEPPH).

 

Kekuatan Laporan 

Bukti rekaman persidangan (jika ada), Berita Acara Sidang (BAS) yang mencatat pernyataan-pernyataan diskriminatif, dan testimoni pengunjung dapat menjadi alat bukti kuat di KY. Sanksi dari KY dapat berupa rekomendasi sanksi administratif hingga pemberhentian tidak hormat.

 

Mencatat secara Rinci dalam Memori Banding/Kasasi

 

Jika putusan akhir nanti dirasa tidak adil dan dipengaruhi oleh kejanggalan-kejanggalan dalam persidangan, Penggugat dapat menggunakan seluruh kejanggalan prosedural ini sebagai Novum/Alasan Banding atau Kasasi.

 

Kegagalan Hakim dalam menerapkan Hukum Acara (khususnya Pasal 164 HIR terkait perbandingan asli) dan melanggar asas persidangan terbuka dapat menjadi dasar kuat untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan oleh Majelis Hakim di tingkat atas.

 

Penutup

 

Integritas peradilan adalah tiang utama penegakan hukum. Setiap pencari keadilan berhak mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi. Pengawasan yang dilakukan oleh publik, advokat, dan lembaga eksternal seperti Bawas MA dan KY adalah mekanisme krusial untuk menjaga martabat Hakim dan memastikan keadilan yang sebenar-benarnya dapat diwujudkan di ruang sidang. Disinilah peran krusial mengapa Pendampingan Hukum yang tepat sejak awal sangat diperlukan bagi masyarakat pencari keadilan.