
Ironi Gangguan E-Court dan Kisah Penggugat Mandiri - Ketika Keadilan Terasa Berat dan Tertunda
edisi lanjutan dari artikel sebelumnya: "E-Litigasi di PN Ungaran: Strategi Pengajuan Bukti Surat Penggugat dalam Sengketa Properti"
Ungaran, 10 November 2025 - Bagi seorang pencari keadilan yang berjuang sendirian
(Penggugat Mandiri), setiap jadwal sidang memiliki beban persiapan yang luar
biasa, baik secara materiil maupun psikis. Agenda pembuktian adalah puncak dari
perjuangan, momen di mana semua dokumen, kesaksian, dan rincian kerugian disajikan
di hadapan Majelis Hakim untuk menentukan nasib perkara. Namun, realitas di
lapangan kerap menghadirkan ironi.
Hari Pembuktian yang Berakhir Tanda Tanya
Seperti yang terjadi dalam persidangan perdata baru-baru ini
di salah satu Pengadilan Negeri, agenda penting pembuktian penggugat harus ditunda.
Bukan karena alasan substansi, melainkan karena gangguan teknis berskala
nasional pada sistem E-Court. Seluruh dokumen bukti surat yang telah disiapkan
dan dibawa oleh Penggugat (berinisial FKP) secara cermat, terpaksa harus
kembali teronggok dalam map tanpa sempat diperiksa. Penundaan akibat sistem
E-Court yang tidak dapat diakses ini adalah cerminan tantangan peradilan modern
yang masih rapuh di hadapan teknologi.
Namun, penundaan sidang tersebut bukanlah satu-satunya
kerikil sandungan. Di tengah kekecewaan akibat kendala sistem, Penggugat justru
harus menghadapi insiden yang lebih menyakitkan secara emosional: sikap Ketua
Majelis Hakim (KMH) yang dinilai sewenang-wenang dan tidak berpihak kepada
masyarakat. Peristiwa ini dengan jelas menunjukkan mengapa peran LBH Mata Elang
dan lembaga bantuan hukum lainnya menjadi sangat krusial dalam menyeimbangkan
posisi warga negara di hadapan birokrasi peradilan yang kompleks dan terkadang
intimidatif.
Ketika E-Court Melumpuh: Antara Efisiensi dan Akses Keadilan
Sistem E-Court diluncurkan dengan janji manis efisiensi.
Tujuannya adalah memangkas birokrasi, mempercepat proses administrasi, termasuk
memfasilitasi pertukaran dokumen dan upload bukti surat secara daring. Dalam
konteks sidang perdata, E-Court seharusnya menjadi alat yang memperlancar
agenda pembuktian, bukan menghambatnya.
Namun, ketika terjadi gangguan E-Court secara nasional,
seluruh alur persidangan yang bergantung pada sistem tersebut menjadi macet.
Dalam kasus ini, Penggugat telah bersusah payah mempersiapkan dan merangkum
setidaknya 29 jenis bukti surat (P-1 hingga P-29), termasuk dokumen krusial
seperti Surat Pernyataan Harta Bersama dan Rincian Kerugian Materiil dan Immateriil yang
totalnya mencapai ratusan juta rupiah. Seluruh persiapan ini menjadi sia-sia
karena kendala teknis.
Bayangkan frustrasi seorang Penggugat Mandiri yang telah
menyisihkan waktu dan biaya transport untuk hadir.
Penundaan bukan hanya soal waktu, tetapi juga memperpanjang beban psikis.
Ironisnya, teknologi yang seharusnya mempermudah, justru terkadang menambah hambatan bagi
keadilan masyarakat.
Kontras Perintah: Ketika Hakim Abuse of Power
Sistem yang lumpuh saja sudah cukup membuat frustrasi.
Namun, insiden yang terjadi selanjutnya menambah daftar panjang kekecewaan
Penggugat terhadap sistem peradilan ini. Ketua Majelis Hakim (KMH) sempat
melontarkan teguran keras dan memarahi Penggugat karena ketidakhadirannya pada
agenda sidang sebelumnya. Teguran ini terkesan sewenang-wenang dan tidak
sensitif terhadap posisi Penggugat Mandiri.
Faktanya, Penggugat tidak hadir pada agenda sebelumnya
karena ia telah menerima konfirmasi dan arahan dari pihak Pengadilan (melalui
pesan WhatsApp yang dijadikan rujukan) bahwa agenda tersebut hanyalah jadwal
upload bukti melalui E-Court, dan kehadiran fisik para pihak tidak diperlukan.
Ketidakhadiran Penggugat bukanlah bentuk lalai, melainkan
bentuk kepatuhan terhadap informasi dan efisiensi yang disarankan oleh pihak
Pengadilan sendiri. Kejadian ini mencerminkan beberapa masalah serius dalam
lingkungan peradilan:
Kurangnya Koordinasi Internal
Adanya disparitas informasi
antara petugas administrasi Pengadilan (yang memberikan arahan melalui
WhatsApp) dengan Majelis Hakim yang memimpin sidang.
Abuse of Power (Kewenangan yang Berlebihan)
Teguran keras
dari Ketua Majelis Hakim, tanpa mengkonfirmasi fakta ketidakhadiran dan alasan yang jelas,
menunjukkan penggunaan otoritas yang tidak tepat dan berpotensi melukai rasa
keadilan masyarakat.
Beban Ganda pada Penggugat
Penggugat harus menanggung
kerugian teknis (E-Court error) sekaligus menanggung teguran atas kepatuhannya
terhadap anjuran Pengadilan.
Kejadian ini semakin menegaskan bahwa mencari keadilan di
Indonesia seringkali bukan hanya pertarungan melawan hukum, melainkan juga
pertarungan melawan birokrasi dan ego otoritas.
LBH Mata Elang dan Pendampingan Hukum
Pengalaman pahit yang dialami Penggugat Mandiri (FKP) ini
merupakan studi kasus yang kuat mengenai risiko bertindak tanpa pendampingan
hukum. Seseorang dengan latar belakang non-hukum, yang sudah stres karena
sengketa Perbuatan Melawan Hukum (PMH) properti (yang bahkan menyebabkan ia
harus mengundurkan diri dari pekerjaan), menjadi rentan terhadap tekanan dan intimidasi, baik dari pihak lawan
maupun dari internal sistem peradilan.
Di sinilah peran LBH (Lembaga Bantuan Hukum) menjadi tak
tergantikan. LBH Mata Elang, sebagai contoh, hadir bukan hanya untuk menyusun
dokumen hukum, tetapi juga sebagai perisai emosional dan penyeimbang
otoritas. Tim Hukum dari LBH berfungsi untuk:
Memastikan Prosedur Ditaati
Memastikan bahwa hak-hak
prosedural klien tidak dilanggar, termasuk hak untuk tidak hadir ketika acara
persidangan hanya bersifat administratif online.
Melawan Sikap Sewenang-wenang
Menghadapi sikap Majelis Hakim yang
berpotensi sewenang-wenang dengan argumen hukum yang kuat dan sopan, mencegah
klien diintimidasi secara psikologis.
Fokus pada Substansi
Mengisolasi klien dari drama birokrasi
(seperti E-Court error) agar klien dapat fokus pada pemulihan mental dan
mempersiapkan bukti materiil dan immateriil.
Kasus FKP adalah bukti nyata bahwa biaya untuk pendampingan
hukum (yang ironisnya dihitung sebagai kerugian materiil dalam gugatan) adalah
investasi penting untuk melindungi hak-hak dasar dan martabat seseorang di
tengah kompleksitas gugatan perdata.
Penutup: Mendorong Reformasi Birokrasi dan Kepekaan Hakim
Penundaan sidang akibat gangguan E-Court dan insiden teguran
sewenang-wenang terhadap Penggugat Mandiri ini harus menjadi bahan refleksi
bagi sistem peradilan kita. Modernisasi melalui E-Court harus diimbangi dengan
keandalan sistem dan, yang lebih penting, dengan kepekaan humanis dari para
penegak hukum.
Keadilan masyarakat tidak seharusnya terhalangi oleh server
yang down atau oleh kesalahpahaman komunikasi internal Pengadilan. Aparat
peradilan harus menyadari bahwa masyarakat yang mencari keadilan datang dengan
beban yang berat; mereka tidak seharusnya diperlakukan sebagai birokrat yang
lalai, apalagi ketika mereka sudah mematuhi prosedur yang disarankan oleh
Pengadilan itu sendiri.
Bagi masyarakat pencari keadilan, khususnya mereka yang
berniat menempuh jalur sidang mandiri, kasus ini adalah pengingat keras. Jangan
biarkan kerumitan hukum dan potensi sikap hakim sewenang-wenang mengalahkan
perjuangan Anda. Dukungan LBH Mata Elang dan organisasi bantuan hukum lainnya
adalah jembatan vital untuk memastikan bahwa suara Penggugat didengar, dan
bahwa keadilan benar-benar ditegakkan, tanpa pandang bulu dan tanpa beban
birokrasi yang tidak perlu.
Artikel ini disajikan sebagai advokasi publik untuk mendukung pentingnya pendampingan hukum di tengah tantangan peradilan modern.

