
Revolusi Hukum di Ambang Pintu - Menyingkap Konstruksi KUHP dan KUHAP Baru Bersama LBH Mata Elang
Tak terasa, kalender telah menunjukkan akhir tahun. Bukan sekadar pergantian angka, namun periode ini menandai sebuah revolusi besar dalam sistem hukum pidana Indonesia. Hanya dalam hitungan hari, tepatnya pada awal tahun 2026, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan mulai berlaku efektif. Ini adalah momen krusial yang dinanti dan sekaligus dipertanyakan, setelah penantian panjang berpuluh-puluh tahun untuk melepaskan diri dari warisan kolonial Wetboek van Strafrecht (WvS).
Hitung Mundur Sejarah: KUHP Baru Siap Berlaku dan Pengesahan KUHAP Baru
Seolah melengkapi tonggak sejarah ini, dunia hukum Indonesia
juga dikejutkan dengan pengesahan KUHAP Baru (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana). Meskipun keduanya memiliki irisan yang sangat erat dalam penegakan
hukum, perbedaan waktu pengesahan dan implementasinya memunculkan dinamika yang
menarik dan kompleks. KUHP mengatur substansi pidana—apa yang dilarang dan
ancaman hukumannya. Sementara KUHAP mengatur proses atau tata cara
penegakannya.
Di tengah hiruk-pikuk ini, LBH Mata Elang, sebuah kantor
Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal progresif dan berpihak pada keadilan
substantif, menggelar diskusi mendalam. Mereka membedah arsitektur hukum dari
dua pilar baru ini, terutama konstruksi hukum dari KUHP Baru, yang dinilai
membawa paradigma baru.
Menggali Konstruksi Hukum KUHP Baru: Paradigma Restoratif dan Keadilan Hidup
Diskusi di markas LBH Mata Elang bukanlah sekadar pembacaan
pasal-pasal, melainkan kajian filosofis atas semangat yang dibawa oleh KUHP
Baru. Tim Hukum LBH Mata Elang fokus pada tiga pilar utama konstruksi hukum
KUHP Baru yang dianggap sebagai lompatan progresif:
1. Keadilan Korektif, Restoratif, dan Komutatif
KUHP Baru secara eksplisit memasukkan konsep pidana yang
berorientasi pada keadilan restoratif (restorative justice), di samping
keadilan korektif (pembalasan) dan komutatif (ganti rugi).
“KUHP lama hanya mengenal ‘balas dendam’ negara. Kini, KUHP
Baru membuka ruang untuk mengembalikan keutuhan korban dan pelaku melalui jalur
non-penjara, terutama untuk tindak pidana ringan. Ini bukan kelemahan hukum,
tapi bukti kematangan kita bahwa penjara bukan satu-satunya solusi. Hati nurani
harus menjadi hakim tertinggi sebelum palu diketuk.” – ujar Firdaus Ramadan Nugroho.
Konstruksi ini diwujudkan melalui pidana kerja sosial,
pidana pengawasan, dan denda sebagai alternatif utama, menempatkan pidana
penjara sebagai ultimum remedium (upaya terakhir).
2. Asas Legalitas yang Fleksibel dan Non-Kolonial
Salah satu kritik terbesar terhadap WvS adalah sifatnya yang
kaku dan mewarisi perspektif kolonial. KUHP Baru mencoba mengatasi ini dengan:
Pembaharuan Asas Legalitas
Memperkenalkan konsep "The
Living Law" (Hukum yang Hidup) dalam Pasal 2, mengakui keberlakuan hukum
adat yang tidak tertulis, asalkan diakui oleh masyarakat setempat dan tidak
bertentangan dengan Pancasila. Ini adalah pengakuan fundamental atas
keberagaman hukum di Indonesia.
Pembaruan Jenis Pidana
Adanya pembedaan antara pidana
pokok, pidana tambahan, dan pidana khusus.
3. Delik Kesusilaan dan Ruang Privat yang Terjamin
Pasal-pasal kontroversial mengenai kohabitasi (hidup bersama
tanpa menikah) dan perzinaan (Pasal 411 dan 412) menjadi sorotan. Tim LBH Mata
Elang melihat konstruksi ini sebagai bentuk penyeimbangan antara moralitas
publik dan perlindungan ruang privat.
“Penting untuk dicatat: delik ini adalah delik aduan
absolut. Artinya, ia hanya dapat diproses jika ada aduan dari pihak yang sangat
terbatas—suami/istri, orang tua, atau anak. Ini adalah jaminan nyata bahwa
negara tidak bisa secara sembarangan masuk ke kamar tidur warga negara. Kontrol
sosial ada di tangan keluarga inti, bukan polisi patroli. Ini konstruksi yang
cerdas dan berhati-hati.” – Ayu Nabila Kusuma.
KUHAP Baru: Mempercepat Proses, Memperkuat Hak Tersangka
Beriringan dengan KUHP Baru, pengesahan KUHAP Baru membawa
angin segar dalam aspek acara pidana. Jika KUHP mengatur "apa", maka
KUHAP mengatur "bagaimana". LBH Mata Elang menyambut baik upaya penyederhanaan
dan percepatan proses, termasuk kemungkinan perluasan hak-hak
tersangka/terdakwa.
Namun, penggabungan keduanya di lapangan membutuhkan sinergi
luar biasa. Bagaimana aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) yang terbiasa
dengan logika KUHP lama (retributif) dapat dengan cepat mengadopsi semangat
KUHP Baru (restoratif) yang kompleks?
1. Efisiensi Waktu Penahanan dan Penyelesaian Perkara
KUHAP Baru diharapkan mampu memangkas birokrasi dan durasi
penanganan perkara. Tujuannya adalah mengurangi praktik penahanan yang
berlebihan (over-capacity) dan memastikan kepastian hukum.
2. Perlindungan Saksi dan Korban yang Lebih Jelas
Penguatan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
serta mekanisme ganti rugi yang lebih pasti menjadi fokus. LBH Mata Elang
menyoroti bahwa KUHAP Baru harus menjadi payung pelindung bagi pihak yang
rentan dalam proses peradilan.
Sudut Pandang LBH Mata Elang: Optimisme yang Menginspirasi
Tantangan dan Peluang dalam Implementasi
Para personil LBH Mata Elang menyadari bahwa tantangan
terbesar bukanlah pada teks undang-undang itu sendiri, melainkan pada eksekusi
dan perubahan pola pikir (mindset) aparat penegak hukum.
“KUHP Baru dan KUHAP Baru adalah mahakarya reformasi hukum.
Mereka adalah kendaraan super cepat menuju keadilan sejati. Tapi kendaraan
secanggih apapun, tidak akan bergerak tanpa sopir yang berintegritas dan
memiliki visi restoratif.” – Ananta Granda Nugroho.
LBH Mata Elang menegaskan akan mengawal implementasi ini
dengan ketat, menggunakan pasal-pasal restoratif sebagai senjata untuk
membebaskan klien dari jerat pidana yang tidak proporsional dan menuntut
penerapan asas kemanfaatan dan keadilan di setiap tingkatan peradilan.
Pesan Inspiratif: Menuju Keadilan Substantif
Berlakunya KUHP Baru dan pengesahan KUHAP Baru bukan hanya
milik para ahli hukum. Ini adalah proklamasi kemerdekaan hukum bangsa dari
bayang-bayang kolonial.
“Ini adalah awal dari sebuah era, bukan akhir. KUHP Baru
mengajak kita semua, baik penegak hukum maupun masyarakat, untuk berpikir ulang
tentang makna ‘kesalahan’ dan ‘hukuman’. Hukuman bukanlah melulu penjara, tapi
adalah kesempatan untuk memperbaiki, mengembalikan, dan menginspirasi. Mari
kita sambut revolusi ini dengan semangat optimisme dan pengawasan yang kritis.
Keadilan yang hidup di masyarakat, itulah esensi sejati dari hukum baru kita!”
Kesimpulan
KUHP dan KUHAP Baru yang baru disahkan adalah dua mesin besar yang akan mendorong reformasi hukum pidana Indonesia. Diskusi di LBH Mata Elang menunjukkan bahwa konstruksi hukum baru ini sarat dengan semangat restoratif, humanis, dan nasionalis. Tinggal beberapa hari lagi menuju awal tahun, momentum ini menuntut kesiapan total dari seluruh elemen penegak hukum. Dengan pengawasan aktif dari masyarakat dan lembaga seperti LBH Mata Elang, cita-cita keadilan substantif yang hidup di tengah masyarakat Indonesia dapat diwujudkan.

