
Menimbang Keadilan di Meja Hijau: Strategi Pembuktian Perkara Perdata, dari Wanprestasi Hingga Gugatan Balik PMH
edisi lanjutan dari artikel sebelumnya: "Menilik Pukulan Balik Terakhir - Bedah Mendalam Duplik LBH Mata Elang di Pengadilan Negeri Ungaran"
Ungaran, 18 November 2025 - Dalam jagat hukum perdata Indonesia, perkara yang melibatkan sengketa perjanjian dan hak kebendaan seringkali menjadi arena pertarungan pembuktian yang sengit. Sebuah kasus yang menarik perhatian publik hari ini, Selasa, 18 November 2025, memasuki babak krusial di Pengadilan Negeri Ungaran, Jawa Tengah.
Perkara ini, yang melibatkan pihak Penggugat (sebagai
kreditor yang merasa dirugikan) melawan Tergugat (sebagai debitor dan pemilik
aset) dan Turut Tergugat I (istri sah Tergugat), telah melewati tahap
jawab-menjawab (Gugatan, Jawaban, Replik, Duplik) dan kini memasuki inti
pertempuran yudisial: Agenda Pembuktian.
Tim pendampingan hukum LBH Mata Elang yang diwakili oleh Paralegal Satria Ridwan Herlambang, telah mempersiapkan amunisi
surat-surat yang strategis. Kasus ini menjadi studi kasus yang sangat berharga
bagi masyarakat luas mengenai bagaimana strategi pembuktian dapat membalikkan
posisi hukum dari pihak yang dianggap wanprestasi menjadi pihak yang menuntut
ganti rugi.
Prinsip Dasar Pembuktian: Siapa Memikul Beban?
Dalam hukum acara perdata, khususnya di Indonesia, beban
pembuktian diatur oleh Pasal 163 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang
menyatakan, "Barangsiapa yang mendalilkan sesuatu, wajib membuktikan
dalilnya."
Dalam konteks perkara di PN Ungaran ini, beban pembuktian
terbagi dua:
Beban Penggugat (Konvensi)
Penggugat harus membuktikan
bahwa benar telah terjadi perjanjian utang piutang (atau kerja sama) yang sah,
Tergugat telah Wanprestasi (ingkar janji), dan Penggugat menderita kerugian
akibat wanprestasi tersebut.
Beban Tergugat (Rekonvensi)
Karena Tergugat mengajukan
Gugatan Balik (Rekonvensi) atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH), Tergugat
harus membuktikan unsur-unsur PMH yang dilakukan oleh Penggugat, yaitu: adanya
perbuatan melawan hukum (melanggar hak Tergugat), adanya kerugian, adanya
hubungan sebab-akibat, dan adanya unsur kesalahan atau kesengajaan dari pihak
Penggugat.
Senjata Utama Tergugat: Pergeseran Fokus dari Utang ke PMH
Strategi yang digunakan oleh Tergugat dalam kasus ini adalah
pergeseran fokus. Tergugat tidak membantah adanya perikatan, namun secara cerdas
menggunakan dalil hukum untuk menyerang dasar perjanjian Penggugat dan tindakan
Penggugat setelah wanprestasi terjadi.
1. Menyerang Dasar Perbuatan, Batal Demi Hukum
Salah satu dalil terkuat Tergugat adalah membuktikan bahwa
perjanjian kerja sama atau jaminan yang menjadi dasar gugatan Wanprestasi
Penggugat mengandung Klausul Commisoria. Klausul ini adalah perjanjian sepihak
yang membolehkan kreditor (Penggugat) langsung mengambil alih objek jaminan
(Sertifikat SHGB) tanpa melalui prosedur lelang resmi jika debitor (Tergugat)
cidera janji.
Menurut hukum jaminan di Indonesia (seperti UU Hak
Tanggungan dan yurisprudensi Mahkamah Agung), klausul semacam ini adalah Batal
Demi Hukum (Null and Void).
Dokumen Perjanjian
itu sendiri digunakan Tergugat
untuk menunjukkan adanya klausul cacat hukum ini. Tujuan pembuktiannya adalah
menggugurkan seluruh gugatan Penggugat, karena dasar hukumnya tidak sah.
2. Membuktikan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Inti dari perlawanan Tergugat adalah Gugatan Rekonvensi PMH.
Tergugat mendalilkan bahwa setelah terjadi wanprestasi, tindakan Penggugat yang
menahan sertifikat dan memaksa balik nama tanpa proses lelang yang sah
merupakan tindakan intervensi terhadap hak kepemilikan.
Bukti Kunci WhatsApp Chat
Bukti elektronik (seperti screenshot chat WhatsApp) menjadi
senjata andalan. Bukti ini harus menunjukkan itikad buruk (Kwade Trouw) dari
Penggugat, yaitu:
- Penolakan Penggugat untuk bernegosiasi atau menerima penyelesaian lain dari Tergugat.
- Adanya paksaan eksplisit agar Tergugat menyetujui Akta Jual Beli fiktif atau balik nama.
Penggunaan bukti chat ini, yang didukung oleh Permohonan
Keterangan di Bawah Sumpah dan Pengakuan Pihak (sebagai Bukti Surat T-7),
bertujuan untuk menguatkan: (a) Pengakuan Tergugat bahwa ia sudah beritikad
baik, dan (b) Fakta bahwa Penggugat melakukan serangkaian tindakan di luar
batas kepatutan hukum (PMH).
Peran Turut Tergugat I: Pembuktian Kedudukan Hukum
Turut Tergugat I, istri sah Tergugat, memiliki peran
pembuktian yang lebih sederhana namun krusial, yaitu menopang Eksepsi Salah
Pihak (Error in Persona) yang diajukan dalam Jawaban dan Duplik.
Tujuan utama Turut Tergugat I adalah membuktikan bahwa:
Ia adalah pihak yang memiliki kepentingan sah atas properti
karena status perkawinannya (meskipun SHGB didalilkan sebagai Harta Bawaan
Tergugat).
Ia tidak terikat pada perjanjian utang piutang (melanggar
Asas Relativitas Perjanjian), sehingga tuntutan terhadapnya harus ditolak.
Dengan mengajukan bukti-bukti ini, Turut Tergugat I secara
efektif memagari dirinya dari gugatan Penggugat dan menguatkan dalil Tergugat
bahwa aset tersebut adalah aset keluarga.
Mengapa Pembuktian Surat Menjadi Fondasi Perkara?
Dalam perkara perdata, bukti surat adalah alat bukti
terkuat, sering disebut "ratu dari segala bukti". Bukti surat
merupakan bukti tertulis yang otentik dan seringkali sulit dibantah, asalkan
keasliannya terjamin (dibandingkan bukti saksi yang bersifat subjektif atau
pengakuan lisan).
Dengan agenda hari ini, 18 November 2025, Tergugat dan Turut
Tergugat I di PN Ungaran menempatkan fondasi yang kuat untuk menuntut:
- Penolakan Gugatan Konvensi (karena cacat hukum perjanjian).
- Pengabulan Gugatan Rekonvensi (untuk pengembalian sertifikat dan pembayaran ganti rugi immateriil sebesar Rp100 juta, serta uang paksa (Dwangsom) sebesar Rp250 ribu per hari keterlambatan, sebagaimana termuat dalam Gugatan Rekonvensi).
Masyarakat perlu memahami bahwa litigasi perdata bukan sekadar masalah siapa yang berutang, tetapi tentang bagaimana perjanjian itu dibuat dan bagaimana para pihak bertindak dalam pelaksanaannya. Dengan strategi pembuktian yang tepat, debitor yang awalnya terpojok karena wanprestasi dapat membalikkan keadaan dan menuntut keadilan atas perlakuan yang melanggar hukum oleh kreditor. Hasil akhir dari pembuktian ini akan menjadi yurisprudensi penting bagi penegakan hukum perdata di Indonesia, terutama terkait perlindungan hak kebendaan dari praktik jaminan yang ilegal.

