Mission Impossible di Pengadilan Negeri Depok: LBH Mata Elang vs Gugatan Rp 23 Miliar dari Raksasa Penerbangan

Mission Impossible di Pengadilan Negeri Depok: LBH Mata Elang vs Gugatan Rp 23 Miliar dari Raksasa Penerbangan

Mission Impossible di Pengadilan Negeri Depok: LBH Mata Elang vs Gugatan Rp 23 Miliar dari Raksasa Penerbangan 



Depok, 02 Oktober 2025 — Dalam dunia litigasi, ada perkara yang hanya melibatkan materi, dan ada perkara yang melibatkan martabat, sejarah, dan harapan. Kasus Perdata Nomor 142/Pdt.G/2025/PN.Dpk di Pengadilan Negeri Depok adalah salah satunya. Kasus ini bukan sekadar sengketa ganti rugi; ini adalah ibarat pertarungan David melawan Goliath.

 

Kisah Perjuangan Hukum Tiga Tergugat Melawan Raksasa yang Didukung Kantor Hukum Terkemuka

LBH Mata Elang mendapatkan mandat yang sangat berat: mewakili tiga pihak Tergugat — yang digugat oleh sebuah perusahaan penerbangan raksasa. Yang membuat perkara ini semakin menantang adalah kantor hukum Penggugat dipimpin oleh seorang Ketua Umum organisasi kemasyarakatan tertua yang sangat terkenal dan berpengaruh di Indonesia. 

 

Taruhan dalam perkara ini sungguh fantastis: Penggugat menuntut ganti rugi total sebesar Rp 23.467.280.480,00 (Dua Puluh Tiga Miliar Empat Ratus Enam Puluh Tujuh Juta Dua Ratus Delapan Puluh Ribu Empat Ratus Delapan Puluh Rupiah).

 

Memperbaiki Konstruksi Hukum yang 'Salah Kaprah' di Tengah Pertarungan

Ketika LBH Mata Elang mengambil alih kasus ini, persidangan sudah memasuki tahap Duplik. Fakta mengejutkan terungkap: Jawaban Gugatan yang diajukan sebelumnya oleh Para Tergugat—saat belum menggunakan jasa LBH Mata Elang—mengandung kelemahan fatal dan potensi cacat konstruksi hukum.

 

Dalam situasi normal, memperbaiki konstruksi hukum pada tahap Duplik dianggap terlambat. Namun, di bawah tekanan waktu dan harapan Para Tergugat, Ketua LBH Mata Elang turun tangan langsung. Hanya dalam tiga hari, Duplik yang baru—tajam, berbasis yurisprudensi, dan sarat norma hukum strategis—berhasil diselesaikan dan diajukan ke Pengadilan hari ini.

 

"Ini bukan hanya tentang memenangkan kasus. Ini tentang mengembalikan keyakinan klien kami bahwa keadilan tidak hanya milik mereka yang kuat dan berkuasa. Kami harus merobohkan konstruksi hukum Penggugat, sambil membangun kembali pertahanan yang terlanjur lemah," ujar Ketua LBH Mata Elang.

 

Strategi 'Cacat' untuk Memenangkan Pertarungan

Strategi yang diterapkan LBH Mata Elang sangat fundamental, bertujuan memutus mata rantai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang didalilkan Penggugat:

 

1. Menyerang Kausalitas (Causaliteit) dengan Kelalaian Berat Perusahaan

LBH Mata Elang berargumen bahwa kerugian sebesar Rp 23 Miliar itu bukan murni akibat perbuatan Tergugat I, melainkan konsekuensi dari Kelalaian Berat (Grove Nalatigheid) Penggugat sendiri. Fakta bahwa sistem pengawasan (internal audit) perusahaan gagal mendeteksi praktik yang sudah berlangsung selama 11 tahun (2012-2024), membuktikan adanya kegagalan sistem (system failure) yang kontributif (contributory negligence).

 

2. Mematahkan Unsur Kesalahan (Schuld) dan Itikad Baik (Bona Fides)

Tergugat I: Didalilkan bahwa Tergugat I bertindak atas Perintah Jabatan (Uitvoering van een Taak) dari atasan langsung, meniadakan unsur Niat Melawan Hukum.

 

Tergugat II & III: Dipertahankan bahwa keduanya adalah pihak pasif yang bertindak atas Itikad Baik (Bona Fides), tidak mengetahui asal-usul dana, sehingga gugatan terhadap mereka adalah Salah Pihak (Exceptio Erronei Litis Dominii).

 

3. Menggugurkan Sita Jaminan dan Menantang Bukti Kerugian

LBH Mata Elang mengambil langkah berani dengan tidak menyerahkan bukti kepemilikan aset (SHM/AJB) untuk membantah sita jaminan. Strategi ini dirancang untuk:

  • Menyerang Cacat Formil: Memaksa Hakim menolak sita karena permohonan Penggugat tidak mencantumkan batas-batas tanah yang jelas.
  • Melindungi Aset: Menegaskan bahwa permohonan sita jaminan mengandung cacat formil dan harus ditolak.
  • Menuntut Audit Independen: Membantah nominal kerugian Rp 23 Miliar karena hanya didasarkan pada laporan internal sepihak, menuntut Penggugat menyerahkan Laporan Akuntan Publik Independen sebagai bukti sah kerugian materiel sebuah perseroan.

 

Mengawal Sejarah Keadilan 

LBH Mata Elang dihadapkan pada tantangan untuk mengulang sejarah kemenangan mereka dalam perkara-perkara sulit. Kasus ini bukan hanya tentang hukum perdata, tetapi juga tentang prinsip melawan kesewenang-wenangan.

 

Agenda sidang selanjutnya adalah Pembuktian Surat Penggugat, yang dijadwalkan pada Selasa, 14 Oktober 2025, di Pengadilan Negeri Depok.

 

Apakah strategi Duplik yang dirancang dalam tiga hari ini mampu menahan gempuran Kantor Hukum Raksasa dan membebaskan ketiga Tergugat dari tuntutan puluhan miliar rupiah?

 

Mari kita kawal bersama kasus ini. Perjuangan ini adalah harapan bagi siapa pun yang merasa keadilan terasa terlalu mahal dan terlalu jauh.