
Sengketa Tanah di Ungaran: Ketika Oknum Lurah Ikut Digugat dalam Perjuangan Keadilan
edisi lanjutan dari artikel sebelumnya: "Sengketa Jual Beli Tanah! Kisah Perjuangan Melawan Ketidakjujuran yang Dibantu Tim Hukum Profesional"
Ungaran, 21 Agustus 2025 - Kisah sengketa tanah
yang terjadi di Ungaran, Jawa Tengah, menjadi sorotan bukan hanya karena
kerugian yang dialami pembeli, tetapi juga karena sikap arogan seorang pejabat
publik yang kini terancam terlibat dalam pusaran hukum. Perjuangan menegakkan
keadilan ini dikawal ketat oleh tim hukum profesional dari Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Mata Elang.
Kronologi Sengketa: Janji Manis Berujung Fakta Pahit
Kasus ini bermula dari sebuah kesepakatan jual beli properti
antara seorang pembeli dan penjual. Perjanjian tersebut dibuat secara sederhana
di bawah tangan dan disaksikan oleh Lurah setempat. Di dalam perjanjian, objek
jual beli disebutkan sebagai sebuah "bangunan rumah". Pembeli, dengan
itikad baik dan kepercayaan penuh, menyerahkan uang muka dalam jumlah besar,
percaya bahwa ia akan segera menempati hunian impiannya.
Namun, kecurigaan muncul ketika penjual terus mengulur waktu
penyerahan properti. Setelah dilakukan verifikasi mandiri, fakta mencengangkan
terungkap: objek yang dijual tersebut, yang diklaim sebagai rumah, ternyata
masih berstatus tanah sawah. Status tanah yang tidak sesuai dengan peruntukan
yang dijanjikan ini menunjukkan adanya dugaan penipuan yang disengaja. Penjual
telah menyembunyikan informasi vital, sebuah perbuatan yang dalam hukum dikenal
sebagai cacat kehendak (dwaling), di mana pembeli tidak akan pernah menyetujui
transaksi jika mengetahui fakta sebenarnya.
Pihak pembeli telah berulang kali mencoba menyelesaikan
masalah ini secara baik-baik, tetapi penjual bersikap tidak kooperatif dan
bahkan mengabaikan semua panggilan. Merasa posisinya semakin terdesak dan
dirugikan, pembeli akhirnya memutuskan untuk menunjuk LBH Mata Elang sebagai
kuasa hukumnya.
Strategi LBH Mata Elang: Dari Somasi Hingga Keterlibatan Pihak Terkait
Sejak menerima mandat, tim LBH Mata Elang langsung bergerak
cepat dengan strategi yang terstruktur. Langkah pertama yang diambil adalah melayangkan
somasi resmi kepada penjual, sebagai peringatan hukum dan kesempatan terakhir
untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Namun, somasi tersebut tidak
ditanggapi dengan serius, menandakan bahwa penjual tidak memiliki itikad baik.
Untuk menguatkan posisi hukum kliennya, tim LBH tidak hanya
mengandalkan fakta yang telah ada, tetapi juga melakukan investigasi lapangan.
Mengingat Lurah setempat adalah saksi penandatanganan perjanjian, LBH Mata
Elang mengirimkan surat permohonan informasi secara resmi, meminta keterangan
terkait status tanah tersebut. Pertemuan pun dijadwalkan untuk mempermudah
proses klarifikasi.
Ini adalah langkah krusial, karena keterangan dari pejabat
kelurahan dapat menjadi bukti kuat yang menguatkan argumen bahwa objek rumah yang diperjualbelikan memang bangunan yang didirikan diatas tanah yang masih berstatus tanah sawah. Keterangan tersebut juga penting untuk membuktikan bahwa
Lurah mengetahui (atau seharusnya mengetahui) status tanah yang sebenarnya saat
perjanjian ditandatangani.
Sikap Arogan Oknum Lurah: Mengubah Status dari Saksi Menjadi Tergugat
Dalam pertemuan yang dijadwalkan, hal tak terduga terjadi.
Pihak Lurah tidak hanya bersikap tidak kooperatif dan menolak memberikan surat
keterangan yang diminta, tetapi ia juga menunjukkan sikap arogan dan bahkan
melayangkan ancaman kepada tim hukum LBH Mata Elang. Sikap ini sangat
disayangkan oleh oleh LBH Mata Elang yang diwakili oleh Firdaus Ramadan Nugroho dan Firman Abdul Ghani, sikap yang tidak mencerminkan integritas sebagai pejabat publik yang
seharusnya melayani dan melindungi masyarakat.
Tindakan Lurah ini secara fundamental mengubah dinamika
kasus. Tim LBH Mata Elang telah memberikan kesempatan emas bagi Lurah untuk
bersikap transparan dan membantu menyelesaikan masalah ini dengan itikad baik.
Sayangnya, kesempatan itu disia-siakan. Sikap penolakan dan ancaman ini justru
semakin memperkuat dugaan bahwa ada "permainan" di balik transaksi jual
beli tersebut.
LBH Mata Elang, yang berdedikasi untuk menegakkan keadilan,
tidak akan tinggal diam. Ancaman tersebut, alih-alih mengintimidasi, justru
memperkuat tekad tim hukum untuk melangkah lebih jauh. Sikap Lurah yang
jelas-jelas mengabaikan prosedur hukum dan etika ini tidak bisa dibiarkan
begitu saja.
Konsekuensi Hukum: Lurah sebagai Tergugat dan Terlapor
Atas dasar penolakan dan ancaman tersebut, Firdaus dan Firman mengambil keputusan strategis. Mereka merekomendasikan kepada tim hukum LBH Mata Elang untuk melibatkan oknum Lurah tersebut
secara hukum. Dalam gugatan perdata yang telah disiapkan, sang Lurah kini akan
dicantumkan sebagai pihak yang ikut digugat selain penjual sebagai tergugat utama.
Keterlibatan Lurah dalam gugatan ini didasarkan pada dugaan adanya perbuatan
melawan hukum (PMH) yang dilakukan olehnya, di mana sikapnya yang tidak
kooperatif dan mengancam telah merugikan hak klien LBH untuk mendapatkan
keadilan.
Tidak berhenti di jalur perdata, LBH Mata Elang juga akan
melibatkan oknum Lurah di jalur pidana. Ia akan dilibatkan sebagai terlapor juga dalam laporan dugaan tindak pidana penipuan yang akan diajukan ke pihak
kepolisian. Dengan adanya bukti ancaman, Lurah juga berpotensi dijerat dengan
pasal terkait penghalang-halangan proses hukum atau perbuatan tidak
menyenangkan.
Langkah ini menunjukkan keseriusan LBH Mata Elang dalam
mengawal kasus ini dan mengirimkan pesan tegas kepada siapa pun, termasuk
pejabat publik, bahwa tidak ada yang kebal hukum. Semua pihak yang terlibat
dalam ketidakjujuran dan menghalangi proses hukum akan dimintai
pertanggungjawaban.
Pentingnya Verifikasi dan Peran Lembaga Bantuan Hukum
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh
masyarakat. Dalam transaksi properti, jangan pernah puas hanya dengan
perjanjian di bawah tangan dan kesaksian lisan. Verifikasi resmi adalah harga
mati! Selalu pastikan status hukum tanah atau properti secara langsung ke
instansi yang berwenang, seperti Kantor Pertanahan (BPN) atau Dinas Tata Ruang.
Peran LBH Mata Elang dalam kasus ini menunjukkan betapa
krusialnya pendampingan hukum profesional. Mereka tidak hanya membantu mengurus
dokumen dan prosedur, tetapi juga menjadi garda terdepan yang berani melawan
intervensi dan ancaman dari pihak-pihak yang berupaya menghalangi keadilan.
Dengan dedikasi dan strategi yang matang, LBH Mata Elang memberikan harapan
bagi masyarakat yang dirugikan bahwa mereka tidak berjuang sendirian.
LBH Mata Elang: Komitmen untuk Keadilan Tanpa Pandang Bulu
LBH Mata Elang sekali lagi membuktikan komitmennya untuk
berdiri di sisi kebenaran. Dalam kasus ini, mereka tidak gentar menghadapi
arogansi dan ancaman dari oknum pejabat publik. Dengan menjadikan Lurah sebagai
pihak tergugat dan terlapor, mereka mengirimkan pesan yang kuat bahwa setiap
orang, tanpa terkecuali, harus tunduk pada hukum.
Perjuangan untuk keadilan memang tidak mudah, tetapi dengan pendampingan yang tepat, hasil yang adil bukanlah hal yang mustahil. Kisah ini diharapkan dapat menjadi edukasi bagi masyarakat luas untuk lebih berhati-hati dalam setiap transaksi, serta menginspirasi untuk tidak pernah menyerah dalam mencari kebenaran.