Kisah Penuh Pengkhianatan - Ketika Kepercayaan Hancur dan Hukum Dipermainkan

Kisah Penuh Pengkhianatan - Ketika Kepercayaan Hancur dan Hukum Dipermainkan

Kisah Penuh Pengkhianatan - Ketika Kepercayaan Hancur dan Hukum Dipermainkan 



edisi lanjutan dari artikel sebelumnya: "Lebih dari Sekadar Bantuan Hukum, LBH Mata Elang dan Kemanusiaan di Tengah Perjuangan Keadilan



Semarang, 22 Agustus 2025 - Ini bukan sekadar cerita hukum. Ini adalah sebuah kisah nyata tentang pengkhianatan yang paling menjijikkan, tentang idealisme yang diinjak-injak, dan tentang Tim Bantuan Hukum yang hatinya dikoyak-koyak oleh kebohongan seorang klien. Ini adalah narasi tentang seorang abdi negara berinisial BI, seorang individu yang membawa drama palsu ke dalam ruang pengadilan, mengubah perjuangan hukum yang tulus menjadi sebuah lelucon pahit yang sulit diterima akal sehat. 


Dedikasi yang Dikuras Habis 

Awal Perjuangan dan Pengorbanan Tanpa Batas 

Semua bermula saat LBH Mata Elang membuka pintu untuk seseorang berinisial BI, seorang pegawai negeri yang menangis dan mengaku menjadi korban perbuatan melawan hukum dari sejumlah atasannya di sebuah kantor kementerian. Dengan idealismenya yang membara, tim LBH Mata Elang melihat sebuah misi mulia untuk membela mereka yang terdzalimi. Tapi, mereka tidak tahu, mereka baru saja mengundang serigala berbulu domba. 


Perjuangan tim hukum LBH Mata Elang untuk BI sudah berada di luar batas maksimal. Jauh sebelum gugatan perdata ini masuk, mereka sudah menguras waktu dan tenaga untuk mengumpulkan setiap bukti dan informasi. Mereka menggelar perkara, mendampingi BI di jalur pidana—bolak-balik dari kantor polisi hingga kejaksaan untuk memperjuangkan hak hukum BI—sebelum akhirnya menyusun gugatan perdata yang kokoh. Setiap kata dalam gugatan, setiap dalil dalam replik, dan setiap dokumen yang disiapkan, semuanya adalah cerminan dari pengorbanan yang tulus. Berbulan-bulan lamanya, keringat, waktu, dan energi mereka habis-habisan, hanya untuk memastikan BI mendapatkan keadilan. Ternyata, semua itu, semua pengorbanan yang tak ternilai harganya, hanyalah barang mainan bagi BI. 


Tim bantuan hukum yang sejak awal sangat berdedikasi, mencurahkan waktu dan tenaga untuk menyusun setiap detail gugatan. Mereka bekerja siang dan malam, merangkai argumen hukum, dan menyiapkan setiap dokumen yang diperlukan. Dalil-dalil Gugatan, Replik, dan semua kelengkapan berkas disusun dengan teliti dan penuh keyakinan. Yang diminta hanya komitmen untuk berjuang bersama klien hingga titik darah penghabisan. Persidangan pun dimulai, berjalan dengan lancar. Pihak-pihak terkait, Majelis Hakim, dan bahkan LBH Mata Elang sendiri, optimis bahwa kasus ini akan berjalan sesuai koridor hukum yang seharusnya. Tahap demi tahap persidangan dilalui dengan baik, hingga akhirnya kasus ini memasuki agenda paling menentukan: tahap pembuktian surat. Pada tahap ini, penggugat wajib menyerahkan bukti-bukti yang akan membuktikan semua dalil gugatannya dan menghancurkan argumen lawan. Dan di sinilah, drama sesungguhnya dimulai. 


Ujian Kemanusiaan yang Dimanipulasi 

Tepat di momen krusial ini, sebuah kabar mengejutkan datang, menghentikan seluruh proses: BI dikabarkan oleh istri sahnya menderita serangan stroke. Sebuah tragedi yang seolah-olah mengundang simpati semua yang melihatnya. Beberapa kali sidang, BI muncul di persidangan menggunakan kursi roda didampingi oleh sang istri, tubuhnya tampak lemas, seolah tak berdaya. Semua orang, termasuk Majelis Hakim dan tim LBH Mata Elang, menelan bulat-bulat drama ini. Betapa pedihnya melihat klien yang mereka dampingi berada dalam kondisi demikian. 


Kondisi "sakit" ini menjadi alasan sempurna untuk menghambat persidangan. Untuk selanjutnya, BI tidak bisa hadir, tidak bisa menandatangani dokumen, dan yang paling fatal, tidak mau menyerahkan bukti-bukti surat yang ada di tangannya. Tim LBH yang naif mencoba mencari jalan keluar. Mereka mengusulkan segala cara, dari meminta bantuan keluarga hingga kuasa insidentil untuk mendapatkan bukti rekam medis. Namun, setiap pintu yang mereka ketuk, setiap upaya yang mereka lakukan, selalu berujung pada penolakan. "Istri sah" BI bahkan menyatakan tidak peduli dan menolak membantu. Drama yang dimainkan begitu rapi, membuat tim LBH terperangkap dalam keputusasaan yang mengancam keberlangsungan kasus yang sudah mereka perjuangkan mati-matian. 


Tabir Kebohongan yang Mengundang Amarah 

Namun, kebusukan itu tak bisa ditutupi selamanya. Kecurigaan muncul, sebuah firasat tak enak yang menggerogoti hati tim LBH. Bagaimana mungkin seorang penggugat yang seharusnya berjuang, justru enggan menyerahkan bukti yang ada di tangannya? Kecurigaan itu semakin memuncak saat BI dan istrinya berkali-kali berkelit saat diminta bukti rekam medis dari rumah sakit. 


Dengan geram dan naluri advokasi yang tajam, LBH Mata Elang menerjunkan tim investigasi ke lapangan, bekerja dalam keheningan. Hasilnya sungguh tak terduga dan menghancurkan semua asumsi yang ada. Tim investigasi berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang sangat valid—mulai dari sejumlah kesaksian, foto, hingga rekaman video—yang secara gamblang menunjukkan bahwa BI sama sekali tidak sakit. Pura-pura stroke, kursi roda, dan semua penderitaan yang terlihat di persidangan hanyalah sebuah sandiwara murahan yang dirancang dengan sempurna oleh BI dan istrinya, persis layaknya drama Korea. Fakta yang terkuak sungguh menyakitkan: alih-alih beristirahat karena sakit, BI justru sering tidak ada di rumah, banyak menghabiskan waktu dengan jalan-jalan bersama "salah satu" istri "kesayangan" yang kemungkinan besar tidak tahu dirinya pun masih "dikhianati" sampai saat ini. 


Penemuan ini bagaikan pukulan telak yang membuat dada sesak. Dedikasi, kepercayaan, dan semua pengorbanan yang telah diberikan selama berbulan-bulan ternyata dibalas dengan kebohongan yang sangat menjijikkan. Klien yang mereka perjuangkan mati-matian, ternyata hanyalah seorang penipu yang memperalat mereka. Alasan "sakit" hanyalah kedok busuk untuk menelantarkan kasus, tanpa perlu mencabut kuasa secara resmi. Fakta ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga sangat merugikan, karena LBH Mata Elang telah membuang waktu, energi, dan sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk membantu orang lain yang benar-benar membutuhkan. 


Putusan Terberat LBH Mata Elang: Saatnya Menegakkan Harga Diri 

Kode Etik yang Dihina 

Dalam dunia hukum, kode etik adalah nafas bagi organisasi bantuan hukum. Apa yang dilakukan BI dengan berpura-pura sakit parah dan menelantarkan kasusnya sendiri adalah wujud nyata dari itikad buruk, sebuah penghinaan terhadap integritas pengadilan dan hukum. 


LBH Mata Elang, sebagai lembaga yang menjunjung tinggi etika, tidak sudi melanjutkan perkara dengan klien yang tidak jujur. Melanjutkan kasus ini sama saja dengan membiarkan proses pengadilan menjadi bahan tertawaan, dan lebih buruk lagi, akan menginjak-injak kehormatan dan kredibilitas LBH di mata publik, Majelis Hakim, dan sesama penegak hukum. 


Mundur Adalah Sebuah Kemenangan 

Setelah serangkaian diskusi internal yang dipenuhi amarah, LBH Mata Elang akhirnya mengambil keputusan paling sulit: mengundurkan diri sebagai kuasa BI. Keputusan ini bukan datang dari kemarahan yang meluap, melainkan dari sebuah prinsip yang teguh. LBH Mata Elang tidak bisa membiarkan sumber daya dan reputasinya dikorbankan oleh seorang penipu. Pengunduran diri ini bukan karena mereka menyerah, melainkan karena mereka memilih untuk tetap berada di jalur kebenaran dan etika. 


LBH Mata Elang secara resmi menerbitkan surat pengunduran diri dari pendampingan hukum BI. Dalam surat tersebut, mereka menjelaskan secara profesional dan etis bahwa alasan pengunduran diri adalah ketiadaan itikad baik dan kurangnya kooperasi dari BI. Tanpa perlu mengungkapkan detail sandiwara menjijikkan itu, alasan tersebut sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan situasi yang ada dan menjunjung tinggi kehormatan profesi. 


Sebuah Akhir yang Menyayat Hati 

Kisah BI dan LBH Mata Elang adalah cerminan kompleksitas dalam praktik hukum. Di satu sisi, ada dedikasi dan idealisme untuk membantu, namun di sisi lain, ada realita pahit tentang ketidakjujuran yang mematikan. Putusan akhir LBH Mata Elang untuk mengundurkan diri adalah sebuah tindakan yang benar dan tepat. Ini bukan hanya tentang sebuah kasus, tetapi tentang pesan yang lebih besar: bahwa dalam setiap perjuangan, kebenaran dan integritas adalah hal yang paling berharga, dan tidak ada kemenangan yang layak diraih dengan cara-cara yang curang. LBH Mata Elang melanjutkan misinya untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan, dengan harapan bahwa di luar sana, masih banyak orang yang menghargai ketulusan dan kejujuran.