Sengketa Kontrak Berakhir di Pengadilan: Ketika Arogan Mengakhiri Peluang Kekeluargaan

Sengketa Kontrak Berakhir di Pengadilan: Ketika Arogan Mengakhiri Peluang Kekeluargaan

Sengketa Kontrak Berakhir di Pengadilan: Ketika Arogan Mengakhiri Peluang Kekeluargaan



Salatiga, 22 September 2025 - menjadi hari yang tak terlupakan bagi seorang kontraktor yang berjuang menuntut keadilan. Di tengah kesibukan Pengadilan Negeri Salatiga, sebuah sengketa perdata yang berawal dari proyek renovasi rumah, kini memasuki babak baru yang serius. Sidang perdana gugatan wanprestasi ini mempertemukan seorang kontraktor sebagai Penggugat, dengan pengguna jasa sebagai Tergugat. Keduanya hadir siap memulai perjalanan panjang di meja hijau.

 

Bagi sang kontraktor, ini bukanlah kali pertama ia harus menghadapi sengketa di meja hijau dengan pendampingan hukum dari LBH Mata Elang. Pengalaman sebelumnya telah memberinya keyakinan dan pemahaman bahwa keadilan harus diperjuangkan.

 

Mengapa Perjanjian Tak Tertulis Dapat Dibawa ke Pengadilan?

Kasus ini bukanlah sebuah sengketa kontrak yang rumit. Faktanya, masalah ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari banyak orang. Sengketa ini berakar pada sebuah perjanjian lisan yang disepakati antara kontraktor dan pengguna jasa untuk renovasi rumah. Kontraktor, dengan penuh kepercayaan, telah memulai pekerjaan, membeli material, dan membayar upah tukang. Sebagian besar pekerjaan telah diselesaikan, namun tiba-tiba, komunikasi terhenti dan pembayaran pun macet.

 

Perjalanan Sengketa: Dari Somasi Hingga Gugatan

Sebelum mengajukan gugatan, pihak kontraktor telah menempuh jalur damai yang sesuai dengan prosedur hukum. Didampingi oleh tim bantuan hukum LBH Mata Elang, ia melayangkan somasi (teguran hukum) sebanyak dua kali. Somasi pertama bertujuan untuk meminta klarifikasi atas macetnya pembayaran dan memberikan kesempatan bagi pengguna jasa untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun, respons dari pihak tergugat jauh dari harapan. Ia memberikan jawaban somasi yang terkesan mengelak dan bahkan menuduh kontraktor telah meninggalkan pekerjaan.

 

Tuduhan ini tidak berdasar. Faktanya, penghentian pekerjaan adalah akibat langsung dari wanprestasi yang dilakukan oleh pengguna jasa itu sendiri, yaitu tidak membayar termin sesuai kesepakatan. Tanpa dana untuk membeli material dan membayar upah pekerja, mustahil bagi kontraktor untuk melanjutkan proyek.

 

Dengan tidak adanya itikad baik untuk menyelesaikan masalah, somasi kedua dilayangkan sebagai peringatan terakhir. Ketika somasi kedua pun diabaikan, satu-satunya jalan yang tersisa adalah mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Langkah ini diambil bukan karena keinginan untuk berperang, melainkan karena keharusan untuk mempertahankan hak-hak yang terlanggar. Ini adalah pelajaran penting bagi masyarakat: jangan pernah mengabaikan somasi. Somasi adalah pintu terakhir menuju penyelesaian damai. Setelah itu, yang tersisa hanyalah meja hijau.

 

Perjanjian Lisan: Mengikat atau Terbantahkan?

Salah satu argumen yang sering digunakan oleh pihak yang ingkar janji adalah klaim bahwa tidak ada kontrak tertulis, sehingga perjanjian tidak sah. Namun, ini adalah kesalahpahaman fatal dalam hukum perdata Indonesia.

 

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), suatu perjanjian dinyatakan sah jika memenuhi empat syarat:

  • Adanya kesepakatan.
  • Kecakapan para pihak.
  • Objek tertentu.
  • Kausa yang halal.

 

Tidak ada satu pun syarat tersebut yang menyebutkan bahwa perjanjian harus tertulis. Dalam kasus ini, kesepakatan terjadi melalui komunikasi digital, dan bukti-bukti seperti riwayat percakapan dan transfer pembayaran sudah cukup kuat untuk membuktikan adanya perikatan hukum yang mengikat. Hal ini menjadi bukti bahwa perjanjian lisan memiliki kekuatan hukum, dan ingkar janji atasnya tetap dapat digugat di pengadilan.

 

Sidang Perdana: Mediasi Sebagai Pintu Terakhir

Sesuai prosedur, sidang perdana dimulai dengan agenda mediasi. Mediasi adalah proses non-litigasi yang memfasilitasi komunikasi antara kedua belah pihak dengan bantuan seorang mediator netral. Mediator bertugas untuk membantu menemukan solusi win-win solution, bukan memihak pada salah satu pihak. Tujuannya sederhana: agar perkara selesai dengan damai tanpa harus membuang waktu, biaya, dan energi di persidangan.

 

Menuju Sidang Mandiri: Strategi dan Pengalaman

Sang kontraktor memutuskan untuk tidak menggunakan kuasa hukum sebagai wakilnya di persidangan. Ia memilih untuk menjalankan sidang mandiri, sama seperti persidangan sebelumnya di Pengadilan Negeri Semarang. Ini bukan keputusan yang diambil secara sembrono. Di balik langkah berani ini, ada dukungan strategis dari LBH Mata Elang. Lembaga ini berperan sebagai pendamping hukum yang menyiapkan seluruh dokumen hukum, gugatan, serta merumuskan strategi hukum yang akan digunakan di hadapan hakim.

 

Strategi ini bukan yang pertama kali dijalankan. Sebelumnya, sang kontraktor pernah menempuh jalan yang sama dalam kasus sengketa di Pengadilan Negeri Semarang. Hasilnya, perjuangan mandirinya berbuah manis. Pihak lawan akhirnya memilih jalur damai dan memberikan kompensasi penuh, menunjukkan bahwa dengan persiapan matang, seseorang bisa berjuang sendiri di pengadilan.

 

Di Meja Mediasi: Upaya Damai yang Penuh Ketegangan

Di ruang mediasi yang penuh ketegangan, pihak kontraktor menunjukkan sikap kooperatif. Ia menyampaikan harapan agar permasalahan dapat diselesaikan dengan musyawarah. Pihak kontraktor hanya menuntut haknya, yaitu sisa pembayaran atas pekerjaan yang telah diselesaikan.

 

Namun, harapan itu pupus di hadapan sikap pihak pengguna jasa. Selama proses mediasi berlangsung, pihak Tergugat sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atau itikad baik. Sebaliknya, ia menunjukkan sikap arogan dan merasa tidak bersalah. Ia tetap pada pendiriannya bahwa ia tidak memiliki kewajiban pembayaran dan bahkan menolak segala tawaran damai yang diajukan.

 

Sikap ini tidak hanya menghambat proses mediasi, tetapi juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap etika berbisnis dan nilai-nilai keadilan. Padahal, mediasi adalah forum di mana kedua pihak harus menurunkan ego dan mencari jalan tengah. Sikap arogan pihak tergugat secara efektif mengakhiri peluang untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai, memaksa proses hukum untuk dilanjutkan.

 

Sikap Arogan yang Mengakhiri Peluang Damai

Sikap arogan yang ditunjukkan oleh pihak Tergugat di ruang mediasi menjadi sorotan. Sikap ini bukan hanya merugikan diri sendiri karena membuang peluang untuk penyelesaian cepat, tetapi juga merendahkan proses hukum itu sendiri. Mediasi adalah amanat undang-undang yang bertujuan baik, namun bisa sia-sia jika salah satu pihak datang tanpa itikad baik.

 

Apa Selanjutnya Setelah Mediasi Gagal?

Dengan mediasi yang tidak membuahkan hasil, proses persidangan kini akan berlanjut ke tahap berikutnya. Majelis hakim akan mengeluarkan penetapan bahwa mediasi gagal, dan kasus akan dilanjutkan ke agenda pokok perkara.

 

Tahapan selanjutnya akan meliputi:

  • Jawaban Tergugat: Pihak tergugat akan menyampaikan jawaban tertulis atas gugatan yang diajukan.
  • Replik dan Duplik: Kedua belah pihak akan saling menanggapi argumen lawan.
  • Pembuktian: Tahap paling krusial, di mana para pihak akan mengajukan bukti-bukti tertulis, saksi, dan ahli.
  • Kesimpulan: Para pihak menyampaikan ringkasan argumen mereka.
  • Putusan Hakim: Majelis hakim akan menjatuhkan putusan berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan.

 

Proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Namun, ini adalah jalan yang harus ditempuh demi mendapatkan keadilan.

 

Pelajaran Penting untuk Masyarakat

Kasus ini menjadi cermin bagi kita semua, khususnya dalam melakukan transaksi atau kerja sama. Beberapa poin edukasi hukum yang bisa kita petik adalah:

 

Keberanian untuk Sidang Mandiri

Kasus ini membuktikan bahwa seseorang dengan bekal bimbingan pengetahuan dan strategi yang tepat, dapat berjuang di pengadilan tanpa harus diwakili oleh pengacara. Peran pendamping hukum seperti Ananta Granda Nugroho dari LBH Mata Elang sangat vital dalam mempersiapkan segala kebutuhan legal, sehingga seseorang dapat berbicara langsung di depan hakim dengan percaya diri.

 

Perlindungan Hukum bagi Semua Kalangan

Jangan pernah berpikir bahwa hanya pihak bermodal besar yang dapat menuntut keadilan. Kontraktor, sebagai pihak yang lebih kecil, memiliki hak penuh untuk memperjuangkan haknya di hadapan hukum. Bantuan hukum kini semakin mudah diakses, memastikan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan.

 

Pentingnya Kontrak yang Jelas

Meskipun perjanjian lisan memiliki kekuatan hukum, sangat disarankan untuk selalu membuat kontrak tertulis. Kontrak yang jelas akan meminimalisir perselisihan dan menjadi bukti kuat jika terjadi sengketa. Dokumen ini harus memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak, nilai kontrak, jadwal pembayaran, dan lingkup pekerjaan.

 

Selesaikan Sengketa dengan Kepala Dingin

Sikap arogan dan ketidakmauan untuk berdamai hanya akan memperpanjang masalah. Proses litigasi tidak hanya menguras biaya dan waktu, tetapi juga energi. Penyelesaian sengketa secara damai adalah jalan terbaik, dan seharusnya menjadi pilihan utama.

 

Perjalanan kontraktor ini masih panjang, namun dengan pendampingan hukum yang tepat dan keyakinan akan kebenaran, ia melangkah maju. Kasus ini bukan sekadar tentang uang yang belum terbayar, tetapi juga tentang integritas, keadilan, dan pesan bahwa setiap janji yang dibuat, baik lisan maupun tertulis, harus dipenuhi. Pengadilan akan menjadi panggung terakhir untuk mendapatkan keadilan.