Gugatan PMH Disidangkan Perdana: Ketika Korban Kecelakaan Menuntut Keadilan di Pengadilan Negeri

Gugatan PMH Disidangkan Perdana: Ketika Korban Kecelakaan Menuntut Keadilan di Pengadilan Negeri

Gugatan PMH Disidangkan Perdana: Ketika Korban Kecelakaan Menuntut Keadilan di Pengadilan Negeri



Semarang, 14 Oktober 2025 – Babak baru perjuangan hukum seorang korban kecelakaan kerja di Semarang dimulai hari ini. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilayangkan oleh seorang klien, yang diwakili oleh tim hukum LBH Mata Elang, mulai disidangkan perdana di Pengadilan Negeri Semarang.

 

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Klien LBH Mata Elang Disidangkan Perdana di PN Semarang

Gugatan ini menjadi sorotan karena menuntut ganti rugi materiil dan immateriil yang signifikan akibat cacat permanen yang diderita Penggugat. Menariknya, gugatan ini tidak hanya menargetkan perusahaan pemberi kerja (Tergugat I), tetapi juga karyawan yang bertindak lalai (Tergugat II), serta perusahaan alih daya (Tergugat III), yang seluruhnya ditarik sebagai pihak yang harus bertanggung jawab secara tanggung renteng (hoofdelijk).

 

Kasus ini secara tegas berada di ranah Hukum Perdata Umum (Burgerlijk Recht), dengan dasar hukum utama Pasal 1365 dan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi Eksepsi Kompetensi Absolut yang dapat mengarahkan perkara ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), sebuah langkah strategis yang didampingi oleh LBH Mata Elang.

 

Latar Belakang Hukum Klien: Bukan Kali Pertama Berjuang Mandiri

Perjuangan hukum Penggugat ini bukanlah yang pertama. Tim LBH Mata Elang mengungkapkan bahwa klien mereka sebelumnya pernah mengajukan gugatan secara mandiri dan memenangkan perkaranya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Pengadilan Negeri Semarang terkait perselisihan hak (norma upah) dan PHK sepihak : LBH Mata Elang Kembali Cetak Sejarah Edukasi Hukum, Kemenangan di Pengadilan Semarang.

 

Kemenangan sebelumnya di PHI menjadi bukti ketekunan dan kemandirian hukum klien yang mendapatkan bimbingan dan pendampingan hukum yang tepat oleh LBH Mata Elang. Kali ini, Penggugat kembali bersidang secara mandiri dengan pendampingan hukum penuh dari LBH Mata Elang, untuk memastikan semua aspek hukum, mulai dari Posita hingga Petitum, disusun dengan tajam dan sesuai standar yudisial tertinggi.

 

Fokus Gugatan: Dari Kecelakaan Menjadi Delik Perdata

Inti dari gugatan ini adalah menggeser perspektif peristiwa dari sekadar "kecelakaan" menjadi "delik perdata" yang melibatkan Perbuatan Melawan Hukum dan Kelalaian Berat (Culpa Lata).

 

Menuntut Tanggung Jawab Perorangan (Tergugat II)

Tergugat II ditarik sebagai pihak yang bertanggung jawab utama karena secara langsung melakukan tindakan melukai dan Kelalaian Berat (Culpa Lata). Dalam Posita, LBH Mata Elang mendalilkan bahwa Tergugat II secara ceroboh menyalakan mesin yang sedang diperbaiki oleh Penggugat, sehingga menyebabkan cacat permanen berupa putusnya jari. Tindakan ini secara hukum memenuhi unsur PMH di bawah Pasal 1365 KUHPerdata, termasuk unsur kesalahan (schuld) dan hubungan sebab-akibat (causal verband).

 

Menerapkan Prinsip Tanggung Jawab Vikarius (Tergugat I)

Tergugat I dituntut bukan hanya atas kelalaiannya sendiri, tetapi juga atas perbuatan bawahannya (Tergugat II). Konsep hukum yang diterapkan di sini adalah Tanggung Jawab Vikarius (Vicarious Liability), sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata. LBH Mata Elang juga mendalilkan PMH Mandiri yang dilakukan Tergugat I, yaitu Kelalaian Pengawasan (Lack of Adequate Supervision) dan kegagalan melaporkan kejadian sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

 

Menyasar Kelalaian Pasif (Tergugat III)

Tergugat III (Perusahaan Outsourcing) disasar atas PMH Inaktif atau Kelalaian Pasif (Culpa in Omittendo). Dalil ini difokuskan pada kegagalan Tergugat III melaksanakan Kewajiban Hukum (Rechtplichten) untuk melaporkan peristiwa yang mengakibatkan cacat permanen, dan upaya menutup-nutupi (cover-up) fakta kejadian. Dalil ini disusun sedemikian rupa agar tidak tergelincir pada perselisihan hubungan industrial, melainkan murni pada pelanggaran itikad baik (Bad Faith) dan asas kepatutan (Due Care).

 

Kerugian dan Jaminan Eksekusi

Tuntutan ganti rugi dalam Petitum mencapai angka Rp 2.300.000.000,- (Dua Miliar Tiga Ratus Juta Rupiah). Jumlah ini terbagi menjadi:

 

Kerugian Materiil

Kerugian materiil dituntut sebesar Rp 500.000.000,-. Dalil ini diperkuat dengan perhitungan atas Kehilangan Kapasitas Penghasilan Masa Depan (Loss of Future Earning Capacity) yang diderita Penggugat akibat cacat permanen tersebut, termasuk hilangnya peluang kerja dengan penghasilan tinggi di luar negeri.

 

Kerugian Immateriil

Kerugian immateriil dituntut sebesar Rp 1.800.000.000,-. Tuntutan ini dipecah menjadi beberapa komponen rinci, seperti Rasa Sakit dan Penderitaan Fisik (Pijn en Smart), trauma psikis, dan nilai Cacat Permanen (Waarde van Blijvende Invaliditeit). Pemecahan rinci ini bertujuan untuk meyakinkan Majelis Hakim bahwa penilaian kerugian dilakukan secara cermat berdasarkan prinsip keadilan (ex aequo et bono).

 

Permohonan Sita Jaminan dan UBV

Gugatan juga memohon agar Majelis Hakim meletakkan Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag) atas aset bergerak dan tidak bergerak milik PARA TERGUGAT sesuai Pasal 227 HIR. Permintaan Sita Jaminan ini adalah langkah proaktif LBH Mata Elang untuk menjamin bahwa putusan ganti rugi tidak akan menjadi sia-sia (illusoir).

 

Lebih lanjut, tim hukum juga menuntut agar putusan dinyatakan Dapat Dijalankan Terlebih Dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad / UBV), yang memungkinkan eksekusi putusan dapat langsung dilakukan tanpa menunggu upaya hukum banding atau kasasi.

 

Sidang perdana hari ini di Pengadilan Negeri Semarang menjadi penanda dimulainya perjuangan hukum yang kompleks, namun didasari oleh prinsip kuat untuk menuntut pertanggungjawaban PMH atas kerugian fisik dan psikis yang diderita Penggugat. LBH Mata Elang akan terus mendampingi kliennya hingga putusan akhir memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.