
Sengkarut Wanprestasi: Ketika Gugatan Cacat Menjadi Senjata Serangan Balik
Ungaran, 01 September 2025 - Gugatan perdata sering kali menjadi jalan terakhir ketika
suatu perjanjian tidak dipenuhi. Namun, bagaimana jika gugatan yang diajukan
justru memiliki celah hukum yang fatal? Kasus yang terjadi antara sepasang
pengusaha (Penggugat) dengan sepasang pengelola modal (Tergugat) menjadi contoh
nyata bagaimana kelemahan dalam surat gugatan bisa menjadi senjata balik yang
mematikan.
Perkara ini bermula dari gugatan wanprestasi yang
dilayangkan oleh Penggugat melalui Kantor Pengacaranya, menuntut pengembalian modal investasi yang telah
disetorkan kepada Tergugat. Namun, setelah ditelusuri lebih dalam, gugatan ini
menyimpan banyak kejanggalan yang dapat dimanfaatkan untuk membela diri. LBH
Mata Elang melihat bahwa kasus ini merupakan contoh sempurna dari pentingnya
analisis yang cermat terhadap setiap detail gugatan.
Kronologi Kasus dan Dalil yang Kontradiktif
Gugatan wanprestasi adalah tuntutan yang didasarkan pada Pasal
1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Penggugat mendalilkan
bahwa Tergugat telah melakukan ingkar janji dengan tidak mengembalikan modal
investasi senilai total ratusan juta rupiah, setelah kerja sama investasi
mengalami kerugian.
Namun, dalam surat gugatan yang diajukan, terungkap beberapa
dalil yang tidak konsisten dan bahkan saling bertentangan:
Nilai dan Isi Perjanjian yang Berubah
Penggugat
mencantumkan dua versi perjanjian yang berbeda. Satu perjanjian dengan nilai
investasi Rp150.000.000,00 dan janji ROI 4% per bulan. Lalu, muncul perjanjian
lain dengan nilai Rp100.000.000,00 dan janji ROI 3% per bulan. Inkonsistensi
ini menciptakan ketidakjelasan mengenai dasar hukum dan objek gugatan yang
sesungguhnya.
Kontradiksi Dalil Soal Sertifikat
Ini adalah kelemahan
paling fatal dalam gugatan. Penggugat menuduh Tergugat tidak memenuhi janji
untuk menyerahkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Namun, dalam dalil
lainnya, Penggugat secara tidak sengaja mengakui bahwa sertifikat tersebut
masih berada dalam penguasaan Para Penggugat. Sebuah kontradiksi yang secara
hukum sangat merugikan posisi penggugat. Analisa LBH Mata Elang
mengidentifikasi kontradiksi ini sebagai celah utama dalam gugatan.
Strategi Membela Diri: Mengubah Gugatan Cacat Menjadi Senjata
Menghadapi gugatan dengan kelemahan seperti ini, Tergugat
tidak perlu membela diri terlalu dalam. Strategi terbaik adalah menyerang
kelemahan formalitas gugatan itu sendiri.
Eksepsi Gugatan Kabur (Obscuur Libel)
Dalam hukum acara perdata, gugatan yang tidak jelas dan
kabur (obscuur libel) adalah cacat formil yang dapat membuat gugatan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Ini adalah alasan utama untuk
menolak gugatan tanpa memasuki substansi perkara.
Dalam kasus ini, Majelis Hakim dapat memutus bahwa gugatan
Penggugat kabur karena dalilnya tidak konsisten dan saling bertentangan.
Pengakuan adanya dua perjanjian dan kontradiksi terkait penguasaan sertifikat
adalah bukti tak terbantahkan.
Bantahan Pokok Perkara yang Berdasarkan Fakta
Terlepas dari eksepsi, Tergugat juga dapat menyiapkan
jawaban substantif untuk menolak seluruh dalil Penggugat. Poin kuncinya adalah:
Tidak Ada Wanprestasi
Tergugat dapat membantah telah
melakukan wanprestasi, karena tidak ada klausul dalam perjanjian yang
mewajibkan Tergugat mengembalikan modal investasi jika kerugian. Kerugian
adalah risiko yang disepakati bersama dalam kerja sama investasi.
Menolak Tuntutan
Dengan tidak adanya wanprestasi, maka
seluruh tuntutan Penggugat, baik kerugian materiil (modal dan ROI) maupun
kerugian imateriil, menjadi tidak berdasar hukum dan harus ditolak.
Pentingnya Perjanjian yang Jelas dan Gugatan Rekonvensi
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi para pelaku
bisnis. Setiap perjanjian, terutama yang menyangkut investasi, harus dibuat
secara tertulis dengan klausul yang sangat jelas.
Hal ini juga membuka peluang bagi Tergugat untuk melakukan
gugatan balik (rekonvensi). Mengingat Penggugat telah mengakui bahwa sertifikat
tersebut berada dalam penguasaannya, Tergugat dapat menuntut pengembalian
sertifikat tersebut dalam gugatan rekonvensi. Langkah ini akan membalikkan
posisi hukum, menjadikan Tergugat sebagai pihak yang dirugikan.
Langkah-langkah Strategis Selanjutnya
Penyusunan Jawaban Gugatan
Jawaban harus disusun secara
sistematis, dimulai dengan eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) yang menyoroti
seluruh kelemahan formalitas gugatan.
Pembuktian
Selama persidangan, Tergugat harus dapat
menunjukkan bukti-bukti yang mendukung jawabannya, seperti perjanjian yang ada
(jika ada), riwayat komunikasi, dan bukti lain yang relevan.
Pengajuan Gugatan Rekonvensi
Mengajukan gugatan rekonvensi
untuk menuntut Penggugat menyerahkan kembali sertifikat yang mereka kuasai
secara tidak sah. Ini merupakan langkah yang sangat kuat untuk menekan
Penggugat.
Kesimpulan: Cermat Menggugat, Teliti Membela Diri
Perkara wanprestasi ini menunjukkan bahwa hukum bukan hanya tentang siapa yang benar, tetapi juga tentang bagaimana suatu gugatan disusun dan dibuktikan. Bagi para pelaku bisnis, kasus ini adalah pengingat penting bahwa ketidakcermatan dalam membuat perjanjian dan mengajukan gugatan dapat berbalik menjadi bumerang yang merugikan. Bagi mereka yang menjadi pihak Tergugat, kasus ini membuktikan bahwa selalu ada celah untuk membela diri, bahkan dari gugatan yang terlihat meyakinkan. Kuncinya adalah mencermati setiap detail, mencari kelemahan, dan menyusun strategi hukum yang tepat. Untuk memastikan strategi hukum yang terukur dan terperinci, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang yang terkenal sangat tajam dan detail dalam menganalisa sebuah perkara, siap untuk mendampingi Anda.