
Gawat! Petugas Disnaker Diduga Salah Tafsir Aturan, LBH Mata Elang Tegas Melawan!
Terkuak! Petugas Disnaker memberikan
informasi keliru soal perusahaan outsourcing dan upah minimum, klaim perusahaan outsourcing skala mikro
boleh bayar di bawah UMK. LBH Mata Elang tegaskan hukum yang benar demi
lindungi hak pekerja!
Semarang, 11 Juli 2025 – Upaya LBH Mata Elang untuk memperjuangkan hak-hak pekerja, terutama dalam kasus kecelakaan kerja dengan PHK sepihak dan upah di bawah standar, kini menghadapi tantangan baru. Alih-alih mendapatkan dukungan penuh dalam penegakan hukum, Paralegal LBH Mata Elang, Firdaus Ramadan Nugroho, bersama mahasiswa magang Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), Firman Abdul Ghani, justru menemukan adanya dugaan kesalahpahaman serius dari seorang petugas Dinas Ketenagakerjaan bernama Bapak "R" terkait regulasi ketenagakerjaan beberapa hari yang lalu.
Hasil klarifikasi dengan sebut saja Pak "R", yang seharusnya menjadi
garda terdepan dalam pengawasan ketenagakerjaan, justru memunculkan
kekhawatiran besar. Penjelasan yang diberikan oleh Pak "R" dikantor Dinas Ketenagakerjaan dapat berpotensi
menyesatkan masyarakat, khususnya para pekerja, dan merugikan mereka secara
masif jika pandangan tersebut diterapkan secara luas.
Kronologi Klarifikasi dan Poin-Poin Yang Mencemaskan
Dalam pertemuan dengan Firdaus dan Firman, Pak "R" menyampaikan beberapa poin penting yang memicu alarm bagi LBH Mata Elang:
- Status Perusahaan Outsourcing CV dan Usaha Mikro Dianggap Boleh Gaji di Bawah UMK. Pak "R" mengemukakan bahwa jika perusahaan outsourcing berbentuk CV, apalagi berpredikat usaha mikro, mereka "bisa memberikan gaji di bawah UMK."
- Dinas Ketenagakerjaan Tidak Tahu Aturan Outsourcing Harus Berbadan Hukum. Petugas tersebut menyatakan tidak mengetahui perundang-undangan yang mewajibkan perusahaan outsourcing harus berbadan hukum. Ia hanya beranggapan bahwa selama itu "berbadan usaha," boleh melakukan outsourcing.
- Hanya Tahu NIB Terbaru. Dinas hanya mengetahui Nomor Induk Berusaha (NIB) perusahaan outsourcing yang terbit pada tanggal 19 Februari 2025, tanpa mengindikasikan apakah operasional sebelumnya legal atau ilegal.
- Predikat Usaha Mikro dari Dinas Penanaman Modal. Petugas membenarkan bahwa predikat usaha mikro diberikan oleh dinas penanaman modal berdasarkan modal awal, omzet, dan jumlah karyawan.
- Penggajian di Bawah UMK Diperbolehkan untuk Usaha Outsourcing Mikro. Ini adalah poin paling krusial. Pak "R" secara eksplisit menyebutkan bahwa untuk penggajian di bawah UMK, Dinas Ketenagakerjaan tetap memperbolehkan karena perusahaan outsourcing tersebut memiliki predikat usaha mikro.
Sudut Pandang Hukum LBH Mata Elang: Meluruskan Kesalahpahaman Fatal
Menanggapi poin-poin tersebut, LBH Mata Elang merasa perlu untuk menegaskan kembali posisi hukum yang benar, berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Pandangan yang disampaikan oleh petugas Disnaker tersebut, jika dipegang secara umum, berpotensi merusak sendi-sendi perlindungan pekerja dan membuka celah bagi praktik eksploitasi.
1. Perusahaan Outsourcing Wajib Berbadan Hukum, Tak Ada Pengecualian untuk CV Apalagi Usaha Mikro!
Firdaus Ramadan Nugroho dari LBH Mata Elang menegaskan,
"Sangat jelas dalam Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
2021 (PP 35/2021) bahwa perusahaan alih daya (yang dikenal umum sebagai
outsourcing) harus berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi perizinan berusaha. Tidak ada satu pun pasal atau
ayat dalam regulasi tersebut yang mengecualikan kewajiban ini bagi perusahaan
berbentuk CV, apalagi jika ia berpredikat usaha mikro."
Kewajiban berbadan hukum ini bukan tanpa alasan. Ini
adalah jaminan akuntabilitas, transparansi, dan perlindungan hukum bagi para
pekerja. Perusahaan yang tidak berbadan hukum sebagai penyedia jasa
outsourcing pada dasarnya beroperasi secara ilegal.
2. Upah Minimum Berlaku Mutlak untuk Semua Perusahaan, Termasuk Usaha Outsourcing!
"Pernyataan yang paling mengkhawatirkan adalah klaim
bahwa usaha outsourcing mikro diperbolehkan membayar upah di bawah Upah Minimum Kota (UMK).
Ini adalah kesalahpahaman hukum yang sangat berbahaya dan harus segera
diluruskan!" tegas Firman, mahasiswa magang dari Fakultas Hukum UNDIP.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 88E ayat (2), yang diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja, secara gamblang
menyatakan: 'Pengusaha dilarang membayar Upah lebih rendah dari Upah minimum.'
"Tidak ada pasal pengecualian untuk perusahaan oursourcing mikro,
kecil, atau menengah dalam hal pembayaran upah minimum," lanjut Firman.
"Meskipun ada beberapa relaksasi atau insentif bagi UMKM dalam aspek lain
seperti perizinan, hak dasar pekerja outsourcing atas upah minimum adalah mutlak dan tidak
bisa ditawar karena ditempatkan bekerja oleh perusahaan outsourcing tersebut di perusahaan yang tidak masuk dalam kategori UMKM".
3. NIB Saja Tidak Cukup, Legalitas Penuh Sangat Penting!
Terkait NIB yang baru terbit Februari 2025, LBH Mata Elang mengingatkan bahwa NIB hanyalah langkah awal dalam perizinan berusaha. Untuk perusahaan outsourcing, NIB harus diikuti dengan pemenuhan persyaratan spesifik lainnya, terutama bentuk badan hukum dan perizinan terkait kegiatan penyediaan tenaga kerja.
"Jika perusahaan telah beroperasi sebelum tanggal NIB terbit, atau
jika NIB-nya tidak didukung oleh bentuk badan hukum yang sah sesuai undang-undang, maka
operasionalnya sebelum atau sesudah NIB tetap dapat dianggap ilegal".
Dampak Buruk Kesalahpahaman Ini bagi Masyarakat dan Pekerja
Sudut pandang yang keliru dari seorang petugas Disnaker
seperti ini sangatlah merugikan.
Pekerja Menjadi Korban Eksploitasi. Jika pengusaha berpegang
pada interpretasi yang salah ini, mereka akan merasa 'legal' untuk menggaji
pekerja di bawah UMK melalui perusahaan outsourcing skala mikro, sehingga pekerja terus menerus menjadi korban eksploitasi
dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup layak.
Melanggengkan Praktik Ilegal. Pemahaman yang salah tentang
kewajiban badan hukum bagi outsourcing akan melanggengkan praktik perusahaan
ilegal, yang pada gilirannya akan semakin mempersulit pekerja untuk menuntut
haknya jika terjadi sengketa atau kecelakaan kerja, seperti yang dialami klien
LBH Mata Elang.
Merusak Iklim Ketenagakerjaan. Kesalahpahaman ini dapat
merusak iklim ketenagakerjaan yang sehat dan adil, di mana perusahaan yang
patuh justru bersaing tidak sehat dengan perusahaan yang melanggar hukum.
Fatalnya Saran Petugas Disnaker Terdahulu: Berujung PHK Sepihak yang Dikalahkan LBH Mata Elang di Pengadilan
LBH Mata Elang menyoroti bahwa ini bukanlah kali pertama Disnaker memberikan informasi atau saran yang keliru dan merugikan pekerja. Sebelumnya, petugas Disnaker yang sama pernah menyarankan hal yang keliru kepada pihak perusahaan outsourcing terkait penyelesaian sengketa dengan pekerja. Saran yang tidak tepat ini justru mendorong perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak.
"Kami menemukan bahwa saran yang diberikan Disnaker
saat itu justru menjadi salah satu pemicu perusahaan melakukan PHK yang
bertentangan dengan hukum," ungkap Ananta Granda Nugroho, Senior Paralegal LBH Mata Elang. "Berkat
kejelian dan ketelitian Tim Hukum LBH Mata Elang dalam menyusun gugatan di
Pengadilan Hubungan Industrial, akhirnya gugatan PHI dimenangkan sepenuhnya
oleh pekerja. Ini menjadi bukti konkret bahwa interpretasi hukum yang salah,
bahkan dari pihak berwenang sekalipun, dapat berujung pada kerugian besar bagi
pekerja."
Kemenangan di PHI tersebut menjadi validasi atas pemahaman
hukum LBH Mata Elang yang akurat, sekaligus menunjukkan urgensi untuk
meluruskan setiap kesalahpahaman yang beredar di lapangan, terutama dari
institusi yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak pekerja.
Komitmen LBH Mata Elang: Mengedukasi dan Menegakkan Hukum!
"Kami menghargai upaya klarifikasi dari Disnaker, namun kami harus secara tegas meluruskan kekeliruan interpretasi hukum ini," tambah sang Ketua Yayasan LBH Mata Elang. "LBH Mata Elang tidak akan mundur. Kami akan terus mengedukasi masyarakat dan, yang lebih penting, mengawal kasus ini hingga tuntas di ranah pidana. Tidak berbadan hukumnya perusahaan outsourcing ini, ditambah pelanggaran upah minimum dan kelalaian K3L yang menyebabkan cacat permanen seorang pekerja, adalah indikasi kuat adanya tindak pidana yang harus diusut tuntas oleh Polda Jawa Tengah."
LBH Mata Elang berkomitmen penuh untuk memastikan tidak ada
lagi pekerja yang dirugikan karena ketidakpahaman atau penegakan hukum yang
tidak tepat. Kasus ini adalah momentum penting untuk mempertegas bahwa hukum
ketenagakerjaan harus dipahami dan diterapkan secara benar, demi terwujudnya
keadilan bagi seluruh pekerja di Indonesia.
Jadilah Bagian dari Perjuangan Keadilan!
Apakah Anda memiliki pertanyaan atau ingin turut serta dalam perjuangan menegakkan hak-hak pekerja? LBH Mata Elang senantiasa membuka pintu untuk masyarakat yang peduli. Bergabunglah dengan Program Pelatihan Paralegal kami dan jadilah garda terdepan keadilan.
Daftarkan diri Anda SEKARANG JUGA dan bersama LBH Mata Elang, kita wujudkan masyarakat yang sadar hukum dan berkeadilan!