Melawan Kesewenang-wenangan: LBH Mata Elang Mengguncang Pengadilan, Komisi Yudisial Turun Tangan

Melawan Kesewenang-wenangan: LBH Mata Elang Mengguncang Pengadilan, Komisi Yudisial Turun Tangan

Melawan Kesewenang-wenangan: LBH Mata Elang Mengguncang Pengadilan, Komisi Yudisial Turun Tangan

 


Sahabat-sahabatku sebangsa dan setanah air, kita semua mendambakan sistem peradilan yang bersih, adil, dan berintegritas. Kita ingin yakin bahwa setiap perkara akan diproses berdasarkan hukum yang berlaku, tanpa intervensi, tanpa penyimpangan. Namun, terkadang, kenyataan di lapangan bisa jadi berbeda. Baru-baru ini, sebuah insiden yang mengguncang rasa keadilan telah terkuak, melibatkan dugaan pelanggaran kode etik dan hukum acara yang dilakukan oleh hakim. Dalam pusaran kasus ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang tampil sebagai garda terdepan, menyuarakan kebenaran, dan Komisi Yudisial (KY) bergerak cepat menindaklanjuti laporan yang masuk. Ini adalah kisah nyata tentang pentingnya pengawasan, keberanian dalam menegakkan hak, dan harapan akan peradilan yang lebih baik.

 

Semua bermula dari sebuah kasus perkara yang tengah bergulir di sebuah Pengadilan. LBH Mata Elang, sebuah organisasi bantuan hukum yang berdedikasi, menemukan adanya kejanggalan serius dalam putusan perkara tersebut. Tim paralegal LBH Mata Elang, Ananta Granda Nugroho, S.T., dan Firdaus Ramadan Nugroho, yang mendampingi seorang penerima bantuan hukum sebagai Termohon, menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

 

Dalam pertimbangan hukum pada Penetapan Putusan Perkaranya, disebutkan bahwa "Menimbang, bahwa atas pencabutan tersebut Termohon menyatakan setuju dan tidak keberatan". Namun, fakta di lapangan justru berbanding terbalik. Pada agenda Duplik yang seharusnya menjadi momen krusial, pemohon diduga melakukan pencabutan perkara secara sepihak. Yang lebih mengejutkan, pencabutan ini dilakukan tanpa persetujuan dari Termohon dan bahkan tanpa sepengetahuan Termohon, yang pada saat itu berada di rumah karena mengunggah Duplik melalui e-court.

 

Tindakan pencabutan perkara sepihak ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum acara. Pasal 271 dan Pasal 272 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) dengan tegas mensyaratkan persetujuan Tergugat/Termohon apabila pencabutan perkara dilakukan setelah Tergugat/Termohon menyampaikan jawabannya. Ini adalah sebuah landasan hukum yang fundamental, dirancang untuk melindungi hak-hak pihak yang berperkara. Ketika prinsip ini diabaikan, maka hak-hak hukum.

 

Tidak tinggal diam, LBH Mata Elang, segera mengambil langkah konkret. Pada tanggal 16 Mei 2025, tim paralegal LBH Mata Elang melakukan klarifikasi langsung dengan Ketua Majelis Hakim perkara tersebut. Pertemuan ini merupakan sebuah momen penting untuk mencari kejelasan dan kebenaran.


Dalam klarifikasi tersebut, Ketua Majelis Hakim memberikan beberapa keterangan penting. Beliau membenarkan bahwa pihak Pemohon, yang diwakili kuasa hukumnya, memang datang untuk mencabut perkara. Yang lebih mencengangkan, beliau mengakui bahwa pencabutan tersebut disetujui oleh Majelis Hakim dengan alasan "agar tidak berlarut-larut". Ini adalah alasan yang sangat patut dipertanyakan, karena kemudahan dan kecepatan tidak boleh mengorbankan prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

 

Puncak dari klarifikasi ini adalah pengakuan yang sangat jujur dari Ketua Majelis Hakim yang mengakui bersalah telah melanggar peraturan yang berlaku dan meminta maaf atas persetujuan Majelis Hakim terhadap pencabutan perkara sepihak oleh kuasa hukum Pemohon. Bahkan, beliau secara blak-blakan mengakui "sering melakukan pencabutan perkara sepihak di persidangan yang lain". Beliau juga mengakui "lupa terhadap peraturan yang berlaku" dan berterima kasih kepada Tim Paralegal LBH Mata Elang karena telah diingatkan perihal peraturan yang berlaku. Pengakuan ini, meskipun pahit, menunjukkan adanya celah dalam pemahaman dan penerapan hukum yang perlu segera ditangani.

 

Berbekal Berita Acara Hasil Klarifikasi, LBH Mata Elang tidak berhenti di situ. Mereka memahami bahwa kejadian ini bukan hanya tentang satu kasus, melainkan tentang integritas seluruh sistem peradilan. Oleh karena itu, LBH Mata Elang mengambil langkah strategis selanjutnya: melaporkan dugaan pelanggaran kode etik ini kepada Komisi Yudisial Republik Indonesia.

 

Komisi Yudisial, sebagai lembaga negara yang bertugas mengawasi perilaku hakim dan menjaga keluhuran martabat hakim, memiliki peran yang sangat vital dalam sistem hukum kita. Laporan LBH Mata Elang ini telah diterima dan diproses oleh KY. Terbukti, LBH Mata Elang telah menerima surat panggilan resmi dari Komisi Yudisial yang ditujukan kepada Ananta Granda Nugroho dan Firdaus Ramadan Nugroho, paralegal yang mewakili Lembaga Bantuan Hukum Mata Elang. Ini menunjukkan bahwa Komisi Yudisial serius menindaklanjuti setiap laporan dugaan pelanggaran etik hakim. 

 

Peristiwa ini adalah pengingat keras bagi kita semua. Integritas peradilan adalah fondasi bagi tegaknya negara hukum. Ketika integritas ini dipertanyakan, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan akan terkikis. Perjuangan LBH Mata Elang adalah cerminan dari semangat juang untuk memastikan bahwa setiap hakim menjalankan amanahnya dengan penuh tanggung jawab, berdasarkan hukum, dan dengan hati nurani yang bersih.

 

Mari kita dukung penuh langkah LBH Mata Elang dan Komisi Yudisial dalam upaya mewujudkan peradilan yang bersih dan berintegritas. Kasus ini akan menjadi ujian penting bagi sistem pengawasan peradilan kita. Semoga dengan adanya pengawasan ketat dari Komisi Yudisial dan keberanian dari organisasi seperti LBH Mata Elang, kita dapat terus mendorong terciptanya keadilan yang sejati bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena pada akhirnya, keadilan adalah hak setiap warga negara, dan merupakan tanggung jawab kita bersama untuk melindunginya.