Pendampingan LBH Mata Elang dalam Perkara Pelanggaran Prosedur di Pengadilan

Pendampingan LBH Mata Elang dalam Perkara Pelanggaran Prosedur di Pengadilan

Pendampingan LBH Mata Elang dalam Perkara Pelanggaran Prosedur di Pengadilan

 


16 Mei 2025 - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang memberikan pendampingan hukum kepada seorang warga, yang dalam artikel ini disebut sebagai "Pihak E", terkait dugaan pelanggaran prosedur persidangan dan kode etik hakim di Pengadilan Agama A. Kasus ini bermula dari perkara cerai talak dengan nomor registrasi 2xx/Pdt.G/2025/PA.xxx. Pihak E, yang berkedudukan sebagai Tergugat/Termohon, merasa dirugikan oleh serangkaian kejanggalan yang terjadi selama proses persidangan.

 

Menurut fakta yang berhasil dikumpulkan oleh Tim investigasi LBH Mata Elang, kejanggalan pertama muncul terkait keterangan di dalam penetapan pengadilan perihal pemberian kuasa hukum oleh Penggugat/Pemohon. Ditemukan fakta bahwa gugatan cerai talak dan replik diajukan sendiri oleh Penggugat/Pemohon tanpa menggunakan kuasa hukum, berbeda dengan keterangan yang tercantum di dalam penetapan pengadilan. Selain itu, LBH Mata Elang juga menyoroti adanya ketidaksesuaian antara fakta persidangan dengan catatan dalam putusan pengadilan. Salah satu contoh yang diungkapkan adalah permintaan duplik rekonvensi oleh Majelis Hakim pada tanggal 24 April 2025, padahal dokumen duplik telah diserahkan oleh Pihak E pada sidang sebelumnya.

 

LBH Mata Elang juga mempermasalahkan pencabutan gugatan yang dinilai dilakukan tanpa sepengetahuan Pihak E. Dalam putusan pengadilan, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pihak E menyetujui dan tidak keberatan dengan pencabutan tersebut, namun fakta persidangan ditemukan bahwa Pihak E sama sekali tidak diberi tahu perihal pencabutan gugatan tersebut. Lebih lanjut, LBH Mata Elang menyoroti tindakan Majelis Hakim Pengadilan Agama A yang pernah menyita dua buku nikah milik Pihak E tanpa adanya surat penyitaan atau tanda terima yang sah.

 

"Kami menduga telah terjadi pelanggaran serius terhadap prosedur persidangan dan kode etik hakim dalam perkara ini," ujar Firdaus Ramadan Nugroho. "LBH Mata Elang akan mengawal kasus ini hingga tuntas untuk memastikan hak-hak Pihak E dilindungi dan keadilan ditegakkan." Maka dari itu setelah menerima kuasa dari Pihak E, LBH Mata Elang langsung menuju Pengadilan Agama dan menemui Hakim yang menangani perkara tersebut dengan meminta persetujuan dari Ketua Pengadilan terlebih dahulu. 

 

Dalam investigasi hukum tersebut, pada akhirnya Ketua Majelis Hakim mengakui kesalahan dan memohon maaf atas pelanggaran hukum acara yang telah dilakukannya. Namun demikian, demi hak-hak hukum dari klien, LBH Mata Elang mengambil keputusan untuk mengajukan pengaduan resmi kepada Komisi Yudisial Republik Indonesia dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk menginvestigasi pelanggaran ini. "Kami berharap, dengan adanya pengaduan ini, Komisi Yudisial dapat mengambil tindakan tegas untuk memperbaiki sistem peradilan dan melindungi masyarakat dari tindakan yang merugikan, ujar Ananta Granda Nugroho selaku Senior Paralegal LBH Mata Elang.


Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Mata Elang menambahkan bahwa "Meskipun hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, namun undang-undang tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai pencabutan gugatan. Dalam hal tidak adanya pengaturan khusus, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini". 


Lanjutnya lagi, "Oleh karena Undang-Undang Peradilan Agama tidak mengatur secara spesifik mengenai pencabutan gugatan setelah adanya jawaban dari Tergugat, maka ketentuan dalam Pasal 271 dan Pasal 272 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) yang berlaku di lingkungan peradilan umum juga berlaku di Pengadilan Agama. Dengan demikian, setelah Tergugat menyampaikan jawaban, replik, dan duplik dalam persidangan di Pengadilan Agama, Penggugat yang hendak mencabut gugatannya memerlukan persetujuan dari Tergugat. Tanpa persetujuan tersebut, pencabutan gugatan tidak dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama".


Terima kasih kepada rekan-rekan media yang tergabung di dalam Gabungan Media Online & Cetak Ternama (GMOCTyang sudah memberikan dukungan moril dan turut serta mengawal kasus ini : PenaJournalis, JelajahPerkaraCentralPress, LaskarBayangkaraNews, JurnalBayangkaraNews, GlobalPers, PancaBuanaNews, CCTWNews, LintangPena, MataPublikNusantara, TegarNews, MataPublic, KabarSBI, SotardugaNews, Ungkap, SekilasBerita86, MitraLampung, BongkarPerkara, EksposeLensa, KoranCirebon, EsensiJurnalis, TargetBerita, JabarIndo, ReportaseJabar, SuaraKitaNews, dan rekan media lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu dalam artikel ini.