Kisah Inspiratif di Malam Sunyi : Dari Jerat Pengkhianatan ke Pelukan Pembelaan

 Kisah Inspiratif di Malam Sunyi  : Dari Jerat Pengkhianatan ke Pelukan Pembelaan

Kisah Inspiratif di Malam Sunyi  : Dari Jerat Pengkhianatan ke Pelukan Pembelaan


Ungaran malam itu, 29 April 2025 jarum jam hampir menyentuh angka sembilan. Di tengah keheningan malam yang diselimuti tumpukan berkas dan draf legal, semangat tim bantuan hukum LBH Mata Elang justru membara. Lembur menjadi rutinitas, sebuah dedikasi tanpa lelah untuk menegakkan keadilan bagi mereka yang mencari pertolongan.

 

Namun, malam itu terasa berbeda. Pintu kantor LBH Mata Elang kembali diketuk oleh wajah-wajah yang menyimpan luka mendalam. Mereka adalah para ahli waris seorang debitur bank yang telah berpulang. Di antara tatapan kosong itu, terselip sebuah wajah yang tak asing bagi sebagian anggota tim. Ya, salah satu di antara mereka pernah mencari oase keadilan di LBH Mata Elang setahun silam.

 

Sayangnya, keraguan mungkin sempat menghinggapi benak mereka kala itu. Mereka memilih berlayar dengan empat nahkoda hukum dari kantor lain di Kota Semarang, berharap badai persoalan segera mereda. Namun, takdir berkata lain. Alih-alih menemukan dermaga kedamaian, mereka justru terperangkap dalam jaring yang lebih menyesakkan.

 

Kini, dengan hati hancur dan penyesalan mendalam, mereka kembali ke LBH Mata Elang. Kisah yang mereka bawa bagai petir di malam sunyi. Empat pengacara yang mereka percayai ternyata telah menorehkan luka yang lebih dalam. Perjanjian jasa hukum yang mereka tanda tangani, tanpa disadari, menyimpan klausul keji yang tidak disadari oleh mereka : dua unit rumah, di luar objek yang diagunkan ke bank, harus diserahkan sebagai "fee" bagi para oknum pengacara tersebut.

 

Tak cukup sampai di situ, bukti-bukti yang terhampar di meja tim LBH Mata Elang bagai sayatan pedang. Permintaan uang yang tak berdasar, berjumlah ratusan juta rupiah, berkali-kali dilayangkan. Alasan-alasan yang diajukan pun terasa janggal, bahkan cenderung mengada-ada. Biaya "e-court" sebesar sepuluh juta rupiah, biaya "mempercepat sidang" hingga seratus lima puluh juta dengan janji tiga kali sidang langsung putusan, biaya pemeriksaan setempat dua puluh juta, dan sederet "biaya" lainnya yang tak masuk akal. Belum lagi honorarium untuk setiap kali persidangan melebihi UMR di Jakarta.

 

Mendengar kisah pilu ini, hati tim LBH Mata Elang terenyuh. Semangat untuk membela kaum lemah dan tertindas semakin membara. Namun, etika profesi advokat menjadi pagar yang tak bisa dilanggar. LBH Mata Elang dengan berat hati menjelaskan bahwa mereka baru bisa memberikan pendampingan hukum jika kuasa kepada pihak lain telah dicabut secara resmi. Sebuah penghormatan terhadap kode etik, sebuah jeda sebelum gelombang pembelaan yang sesungguhnya dimulai.

 

Meski belum dapat bertindak lebih jauh, malam itu di kantor LBH Mata Elang menjadi saksi bisu akan harapan yang kembali menyala. Para ahli waris pulang dengan secercah keyakinan, bahwa di tengah gelapnya ketidakadilan, masih ada tangan-tangan yang siap mengulurkan bantuan. Lembur para pejuang keadilan itu bukan sekadar rutinitas, melainkan sebuah janji, sebuah komitmen untuk membela hak dan martabat setiap insan. Kisah ini adalah pengingat bagi kita semua: keadilan mungkin tertunda, namun ia tak pernah menyerah mencari jalannya. Dan di balik pintu-pintu kantor bantuan hukum, di bawah rembulan malam, harapan akan selalu menemukan rumahnya.